Rabu, 29 Desember 2010

Quo Vadis BPK dan Advokat Jejadian?

Padang Ekspres, 11 Januari 2011

Berdasarkan UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), tugas utama BPK adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lainnya yang mengelola keuangan negara.

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana. Laporan BPK tersebut  dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam praktik, ada penyelundupan hukum yang lazim ketika negara diharuskan melakukan pembayaran yang seolah-olah sah padahal melanggar hukum, akan tetapi tidak terdengar menjadi temuan BPK dan diproses hukum lebih lanjut. Setidaknya kurang terekspos ke publik.

Ambil contoh, keuangan negara atau daerah dikeluarkan untuk membayar jasa hukum nonlitigasi yang diberikan pada oknum dosen atau institusi penegak hukum tertentu yang nyambi sebagai konsultan hukum pemda, komisi negara, DPRD, BUMN/BUMD, seperti melakukan pekerjaan sebagai konsultan hukum tetap dengan bayaran insidental ataupun per bulan atau pertriwulan, membuat rancangan peraturan daerah, menelaah kontrak-kontrak dengan pihak ketiga, memberi advis hukum, dan jasa hukum nonlitigasi lainnya.

Praktik jasa hukum demikian adalah illegal atau melanggar hukum. Sebab, yang berhak memberikan jasa hukum di dalam dan diluar pengadilan hanyalah advokat. Pasal 1 angka 1 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat dengan tegas menyatakan, advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Sedangkan definisi “jasa hukum” disebutkan pada angka 2 pasal yang sama, yakni, jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Jasa hukum seperti tersebut di atas juga tidak berhak diberikan oleh notaris, misalnya. Karena menurut UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, inti kewenangan notaris adalah membuat akta otentik dan perbuatan lain terkait akta otentik tersebut. Dengan demikian, memberi advis hukum atau jasa hukum lain yang biasa dilakukan advokat, yang tidak ada hubungannya dengan pembuatan akta atau perbuatan hukum yang dibenarkan UU Jabatan Notaris dan peraturan pelaksanaannya, lantas menerima honor layaknya advokat adalah terlarang menurut hukum.

Satu-satunya profesi yang absah memberikan jasa hukum keadvokatan demikian hanyalah orang-orang dari profesi advokat. Sampai saat ini penulis tidak menemukan ada dasar hukum berupa undang-undang dan peraturan dibawahnya yang membolehkan orang lain kecuali advokat memberikan jasa hukum dan menerima honorarium seperti dilakukan advokat tersebut. Tidak UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Tidak UU No 16 Tahun 2006 tentang Kejaksaan. Pun tidak UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Seorang dosen hukum, misalnya, walaupun yang bersangkutan bergelar profesor doktor akan tetapi tetap tidak memiliki dasar kewenangan untuk memberikan jasa hukum dan menerima honorarium layaknya advokat. Apalagi jika honor tersebut bersumber dari keuangan negara/daerah, jelas berpotensi memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

Begitupun jaksa tidak berwenang memberikan jasa hukum layaknya advokat dan menerima honorarium. Pasal 30 ayat (2) UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan memang membenarkan jaksa sebagai pengacara negara, terbatas di bidang perdata dan tata usaha negara, yakni dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Atas pelaksanaan dari kuasa khusus ini, tidak diperkenankan jaksa menerima honorarium layaknya advokat. Karena jaksa telah memiliki gaji dan tunjangan resmi menurut peraturan perundang-undangan.

Sayangnya, dalam praktik, jasa hukum yang menjadi tugas pokok dan fungsi advokat di atas acap kali justru dilakukan oleh bukan advokat, seperti disebutkan di atas. Atas jasa hukum mirip advokat tersebut, pemberi jasa menerima semacam honorarium dari keuangan negara atau daerah, BUMN, dan BUMD. Honor demikian sangat potensial sebagai tindak pidana korupsi.

Dari sudut pandang pengelolaan keuangan negara, jasa hukum yang diberikan oleh orang nonadvokat tersebut tidak menjadi masalah. Menjadi masalah mana kala jasa hukum demikian diberi honorarium layaknya advokat, yang sumber dananya berasal dari keuangan negara/daerah dalam APBN/APBD.

Sebenarnya, jika BPK proaktif dan lebih transparan lagi, sangat mudah mencari bukti penyimpangan keuangan negara/daerah, berupa pembayaran kepada advokat jadi-jadian demikian. Hal ini lazim terjadi di Indonesia. Apalagi, biasanya, setiap pengeluaran keuangan negara pasti didukung oleh bukti-bukti pengeluaran. Sehingga aliran dananya sangat mudah dibuktikan.

Selain itu, jika BPK melakukan komunikasi dan kerjasama dengan kalangan aktivis LSM yang biasanya memiliki data tentang, misalnya, siapa saja oknum nonadvokat yang memiliki kontrak atau MoU jasa hukum dengan honorarium dengan pemerintah daerah, komisi-komisi negara, DPR, BUMN/BUMD, maka audit BPK kepada institusi yang diperiksanya akan sangat terbantu.

Menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), sebagai wadah tunggal advokat se-Indonesia, untuk menggencarkan advokasi kepada lembaga-lembaga negara dan masyarakat terkait advokat jadi-jadian tersebut, paling kurang wujud peran serta dalam pemberantasan korupsi dan penyelamatan keuangan negara serta penegakan wibawa profesi.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang.


Senin, 29 November 2010

Pembonsaian Kasus Gayus

Bagi siapa saja yang rutin menonton persidangan kasus Gayus HP Tambunan atau setidaknya rutin mengikuti pemberitaannya, semua pasti setuju, Gayus adalah sosok yang sangat cerdas, tenang, dingin dan punya selera humor yang sangat bagus. Dengan kata lain, ia punya semua kualitas untuk menjadi aktor besar dalam lakon mafia.

Dalam setiap kasus besar, yang menarik bagi saya selalu bukan hukumnya, karena hukumnya (pasalnya) ya itu itu saja, melainkan kharakter tokoh-tokohnya. Dengan tipikal kharakter seperti Gayus, sangat masuk akal jika ia potensial membangun sekenario “pembonsaian” terhadap kasusnya. Atau, jika bukan ia yang membangun sekenario pembonsaian itu, maka ia cenderung akan setuju-setuju saja kasusnya dibonsai. Suatu hal yang rasional sekali dari segi taktis hukum.

Sebagaimana disorot banyak pihak, termasuk juga jadi kegeraman penasehat hukum Gayus, Advokat Adnan Buyung Nasution, kasus Gayus jelas sekali telah dikerdilkan atau dibonsai. Dari harusnya diduga melibatkan banyak pihak, meliputi atasan Gayus dan para pengusaha raksasa yang kasus pajaknya ditangani Gayus, termasuk Group Bakrie, serta para oknum penegak hukum yang terlibat dalam jejaring mafia hukum didalam kasus ini, menjadi hanya difokuskan pada aktor lapangan penerima suap seperti Gayus dan Kompol Arafat Enanie Cs. Pemberi suap, wajib pajak, mana?

Dengan jurus pembonsaian itulah Gayus bisa “menggerakkan” kasus ini dari dalam tahanan. Sehingga Gayus terbela diam-diam dengan sendirinya. Bahkan, mungkin saja, menjaring uang lebih banyak lagi justru dari balik jeruji tahanan. Pihak yang potensial tersudut oleh proses hukum cenderung melakukan apa saja supaya tidak kena. Suatu hal yang manusiawi sekali.

Tangan-tangan tidak terlihat yang akan membela Gayus sudah pasti orang-orang berkuasa yang potensial terseret dalam pusaran kasus Gayus. Ya, siapa lagi jika bukan para cukong dan para jagoan mafia hukum sebagai kolaboratornya. Dengan membela Gayus, para cukong dan jagoan ini hakikatnya membela diri mereka sendiri.

Langkah kaki Gayus hingga ke Bali dapat dibaca sebagai bagian dari gerakan sekenario besar “pembonsaian” kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus. Adalah sangat tidak masuk akal jika Gayus hanya pelesiran nonton tenis ke Bali. Tidak. Pasti ada misi besar di sana.

Pembicaraan sebuah misi besar kalangan mafia, sebagaimana sering digambarkan dengan meyakinkan dalam film-film Hongkong dan Holywood, bukan di lobi-lobi hotel atau restoran terkenal, tetapi di keramaian pacuan kuda atau di kehingaran pertandingan tenis. Ah, jadi teringat film “Public Enemies” (2009) yang dimainkan dengan sangat brilian oleh aktor Johnny Depp. Hanya orang-orang jenius yang bisa melakukannya! He-he-he-he, kebanyakan nonton film nih.

Jika sekenario pembonsaian ini terbongkar, maka lakon besar mafia hukum ini akan berakhir hepi ending. Penonton pasti senang dibuatnya.

Sebaliknya, jika pembonsaian ini berhasil sukses, maka drama mafia pajak ini akan berakhir mengecewakan. Penonton pasti keluar ruangan dengan bersungut-sungut. Orang-orang akan berteriak marah. Karena tidak ada yang berubah dalam kultur penegakan hukum di negeri ini, kecuali jurus-jurus kalangan mafia hukum yang makin tangguh saja dari hari ke hari. Berbalas pantun dengan aparat yang bisa dibeli.

Sayangnya, episode pembonsaian inilah yang penonton saksikan saat ini.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang. 

Minggu, 28 November 2010

PNS Mania



PENERIMAAN calon pegawai negeri sipil (CPNS) segera dibentangkan pada akhir tahun ini. Berbagai departemen atau instansi dan pemerintah daerah membuka ribuan lowongan bagi lebih kurang 35 juta penganggur di republik ini. Para lulusan sekolah atau perguruan tinggi mungkin deg-deg-ser menunggu hari tes dan hasilnya.

Tulisan ini mencoba mengemukakan gejala menarik sekaligus ironik seputar dunia para PNS mania. Tentu PNS mania di sini bukan diartikan kegilaan, tetapi obsesi, hasrat, antusiasme, dorongan yang kuat, dan cinta sekalangan orang pada PNS.

Di tengah sempitnya peluang kerja, PNS dijadikan tumpuan harapan penopang masa depan. Bekerja sebagai PNS di mata banyak orang dipandang lebih menjanjikan daripada pekerja mandiri (wiraswasta)  atau pegawai perusahaan swasta, karena gaji tetapnya dan, tentu saja, jaminan hari tua berupa uang pensiun. Di sinilah menariknya. Dalam alam-sadar maupun bawah-sadar sekalangan orang sekolahan, menjadi PNS seperti sebuah cita-cita tertinggi setelah menamatkan sekolah, semacam prestise di tengah keluarga dan masyarakat. Sementara pada sisi lain, peluang menjadi PNS sangat kecil, dan yang sudah kecil ini pun menjadi tambah kecil apabila proses seleksi kelulusannya menggunakan lagu lama: kongkalingkong ala kingkong (semoga tak terjadi).

Barang kali sidang pembaca pernah memikirkan, mengapa penganggur begitu banyak di republik ini, apakah karena pemerintah tidak sanggup menciptkan lapangan kerja, ataukah angkatan kerjanya sendiri yang tidak mampu meraup peluang atau menciptkan lapangan kerja mandiri (berwiraswasta)?

Tentu sah-sah saja pendapat sebagian kalangan, kalau penyebab tingginya angka pengangguran karena kekurangmampuan atau katakanlah keterbatasan suatu rezim pemerintahan untuk melahirkan lapangan kerja baru. Dengan pembahasaan lain, bukan pencari kerja yang tidak mampu bekerja tapi pemerintahlah yang tidak sanggup menciptakan lapangan kerja, alias ada nuansa struktural di balik tingginya angka pengangguran; sama sahnya anggapan yang menyatakan, pengangguran lebih disebabkan kelemahan individu menangkap peluang dan melakukan pemosisian dalam peta persaingan kerja.

Sambil menunggu pencapaian kinerja pemerintahan SBY yang tidak lagi muda seumur kebun singkong ini, ada baiknya mengenali kharakteristik dunia kerja, lalu memikirkan kualitas keluaran dunia pendidikan, dimana sekarang, sialnya, banyak yang menganggur. Hal ini penting sebagai modal (bekal) bagi yang tengah menuntut ilmu atau yang sedang pontang-panting mencari kerja, tentu dilanda cemas dan kegamangan, agar tidak cemas dan gamang lagi.

Tenaga terdidik, sejauh yang kita lihat, adalah produk kurikulum dan kebijakan pendidikan secara nasional. Pendidikan tinggi kita, misalnya, memang seperti tidak di-design untuk melahirkan tamatan yang umpama kata seperti “tukang insinyur” yang, tidak hanya intelek, tetapi juga ahli dan sarat dengan keterampilan. Contohnya pendidikan tinggi hukum, keluarannya adalah “pemikir hukum” dan bukanya “ahli hukum” yang bisa menerapkan teori hukum ke dalam pemecahan masalah in concreto. Sedangkan ilmu hukum tergolong ilmu terapan (applied science), tapi mengapa keluaran fakultas hukum cenderung gagap menerapkan ilmunya? Berarti memang ada yang salah pada sistem pengajaran di fakultas hukum.

Yang terjadi—dengan kurikulum seperti sekarang—mahasiswa by design berlomba mengumpulkan poin satuan kredit semester (SKS) sebanyak-banyaknya agar cepat tamat dan ber-indeks prestasi kumulatif (IPK) tinggi. Konsekuensi lanjutannya adalah, mahasiswa pintar hanya diukur dari seberapa cepat tamat dan tinggi IPK-nya, terlepas apakah IPK itu diperoleh dengan melulu hapalan, tetapi gagap dalam berlogika, berdiskusi, dan apalagi kalau juga anti organisasi. Akhirnya, ya, berpeluang besar jadi pengangguran.

Namun demikian, mungkin saja ada faktor lain (faktor-X) penyebab fenomena di atas. Yang jelas, di tengah lautan penganggur di negeri ini, apalagi yang dipunya pencari kerja kecuali secercah harapan? Akhirulkata, selamat berjuang dengan penuh fairness bagi pelamar PNS musim ini.[]

Sabtu, 27 November 2010

Memutus Rantai Gayus

Membongkar mafia hukum sebetulnya sangat mudah. Karena ia berjalin berkelindan. Dapat satu ruas akan ketemua semua ruasnya. Pangkal soalnya hanya kemauan; mau tidak mengusut mafia hukum disekitar kasus Gayus sampai ke akar-akarnya?

Menjadi pertanyaan banyak pihak, mengapa berhenti pada penerima suap saja, Gayus Cs. Kita tahu Gayus adalah penerima suap dari wajib pajak yang berperkara di pengadilan pajak. Pemberi suap (wajib pajak) mana? Kok tidak ikut diusut oleh kepolisian? Ini malah sibuk sendiri urus kasus partikular Gayus, penerima suap. Pemberi suap mana?

Masa sih penerima suap di Dirjen Pajak cuma satu orang, yaitu Gayus. Sedangkan pemberi suapnya diakui sendiri oleh Gayus ada banyak, konon ada belasan perusahaan, Group Bakrie yang paling besar. Tapi, tunggu dulu, apa benar cuma Gayus yang menerima. Mustahil. Gayus pasti cepat sekali belajar. Ia belajar dari seniornya. Belajar melalui pandangan mata…oh begini cara dapat duit banyak.

Sah-sah saja jika ada yang bilang sepasang mata sudah dikedipkan ke arah Kapolri, supaya kasus Gayus jangan sampai jatuh ke tangan KPK. Jika sampai ke tangan KPK, wah, susah ngontrolnya. Bisa nyebar ke mana-mana. He-he-he-he.

SBY bilang, melalui Jubirnya Julian Aldrin Pasha, kasus Gayus ditangani Polisi. Kepolisian Negara RI dianggap masih memiliki kredibilitas untuk menuntaskan perkara korupsi dengan terdakwa mantan pegawai pajak Gayus HP Tambunan itu. Demikian dikutip banyak media massa, Rabu (23/11).

Sampai disini sebenarnya oke-oke saja. Gayus memang pas ditangani polisi. Gayus kan orang sipil nonpenegak hukum. Tapi seandainya ada petinggi di kepolisian yang terlibat, dan ini sangat kuat sekali sinyalemennya, apalagi polisinya berbintang pula, Kepolisian RI jelas sulit objektif lagi mengusutnya. Jeruk akan makan jeruk. Jelas susah diterima.

Sulit diterima logika sehat mantan Karutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok Kompol Iwan Siswanto berani memberi izin Gayus pelesiran ke Bali, sekalipun disuap, sebab Gayus adalah tahanan kelas kakap yang disorot tidak saja di Indonesia tapi juga dunia internasional. Kuat dugaan Kompol Iwan Siswanto cukup pede oleh karena ada semacam “perlindungan” dari atasannya dan terus ke atasnya lagi. Berkelindan.

Mengapa sampai berkelindan begitu pasti ada sebabnya. Karenanya, menjadikan Gayus sebagai pintu masuk adalah sangat tepat. Sekaligus mengungkap mata rantai mafia hukum di tubuh pengadilan, kepolisian, kejaksaan dan advokat.

Sebetulnya, sudah lima ruas terungkap: Gayus (Dirjen Pajak), Muhtadi Asnun (pengadilan), Haposan Hutagalung (advokat), Cirus Sinaga (kejaksaan), dan Kompol Arafat Enanie Cs (kepolisian). Tetapi, mata rantai yang telah terungkap ini baru kelas pemain cadangan. Bukan pemain inti.

Pemain inti jelas sangat berkuasa, sangat kaya, dan sangat berbintang. Tapi episode kali ini masih dimenangkan oleh tokoh antagonis, don, pemain inti drama pergayusan. Hmm, teori konspirasi selalu menggoda.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang.

Rabu, 24 November 2010

Darurat Mafia Hukum

Singgalang, 20 Nopember 2010
 
Gayus Halomoan Pertahanan Tambunan, tahanan tersangka korupsi kasus pajak, akhirnya mengaku pelesiran ke Bali dan menonton ratu tenis berkaki indah Daniela Hantuchova v Yanina Wickmayer dalam  Commonwealth Bank Tournament of Champions di Nusa Dua, Bali, Jum’at (5/11). Pengakuan diiringi derai air mata terjadi di persidangan, Senin (15/11), sehingga mengakhiri polemik tentang foto dan video mirip Gayus, yang menggegerkan jagat hukum negeri kita.

Sungguh ironis. Harusnya Gayus diusut oleh polisi atau jaksa. Tapi yang terjadi malah polisi dan jaksa pula yang harus diusut karena ikut makan duit suap Gayus. Jeruk akhirnya makan jeruk, sesudah jeruk dimakan Gayus.

Ironi belum berakhir. Sebagai benteng terakhir keadilan, hakim harusnya memeriksa dan mengadili terdakwa. Tapi yang terjadi malah hakimnya (Muhtadi Asnun) betul yang harus didadili karena diduga kuat disuap Gayus. Melingkar-lingkar dan kemudian saling jerat leher sendiri.

Orang selincah dan secerdas Gayus bertemu mafia hukum. Klop. Terbukti dinginnya jeruji tahanan tidak mampu menghentikan sepak terjang Gayus. Setelah diduga kuat menyuap Kompol Arafat Enanie Cs dan hakim Muhtadi Asnun, kini Gayus menciptakan perkara baru, diduga kuat menyuap Kompol Iwan Siswanto dan delapan orang polisi petugas Rutan Mako Brimob Kepala Dua, Depok.

Apa sih yang tidak bisa dibeli dengan uang di negeri ini? Mungkin demikian keyakinan Gayus. Ia telah membuktikan dengan sendirinya. Semua oknum aparat hukum yang berurusan dengannya, bisa disuap.

Padahal, Gayus sempat menuai simpati publik ketika ia berani mengungkap lakon mafia hukum disekitar kasusnya. Kini, Gayus kembali dibenci dan dicaci maki publik. Saking jengkel, Moh Mahfud MD mengusulkan Gayus dihukum berat dan dimiskinkan saja. "Janganlah, kasihan anak-istri", kata Gayus saat ditanya tanggapannya.

Gayus sebaiknya dihukum berat. Tapi mafia hukum harus dihukum lebih berat lagi. Penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat) yang menyuap/menerima suap dalam kasus Gayus, harus dihukum berat, diperberat 1/3 dibanding warga kebanyakan, termasuk dibandingkan hukuman Gayus.

 

Jika terbukti, oknum polisi seperti Arafat Cs, jaksa Cirus Cs dan Advokat Haposan harus dihukum seberat-beratnya, misalnya 20 tahun penjara dan semua harta korupsinya disita. Sedangkan hakim Asnun, jika terbukti, harus dihukum paling berat, hukuman mati layak untuk hakim korup demikian. Jika hanya dihukum tiga sampai lima tahun, nyaris tidak ada efek jera dan pertakut bagi aparat serupa.


Hukuman yang menggetarkan sangat perlu. Karena negara ini sudah pada level darurat mafia hukum. Siapa yang harus mengusut siapa, tidak jelas lagi. Kasus Gayus hanya satu contoh kecil saja. Jangan dikira di daerah tidak ada Gayus yang lain.[]

(*) Penulis, Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang. Artikel ini telah dimuat di Harian SINGGALANG, Sabtu, 20 Nopember 2010.

Jumat, 19 November 2010

Mengapa Sebaiknya Negara Federal

Oleh SUTOMO

Dalam konteks pembagian duit, selama ini daerah-daerah propinsi dan kabupaten/kota dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya kebagian sisa-sisa atau remah-remah, berbentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat. Secara umum, kebijakan pengelolaan sumber daya negara yang vital (keuangan, agama, politik luar negeri, pertahanan, sumber daya alam), semuanya nyaris ditentukan seutuhnya oleh Pemerintah Pusat, lebih khusus lagi oleh elit-elit di Jakarta. Gubernur mau keluar negeri saja harus izin elit Pemerintah Pusat yang bernama Presiden.

Atas dasar apa pemusatan demikian, kecuali hanya atas dasar konstitusi UUD 1945 dan perundangan organik sebagai pelaksanaan dari konstitusi itu. Dasar logika akal sehat jelas sulit ketemu.

Pembagian kekayaan alam di daerah-daerah, contohnya. Kekayaan alam itu sudah jelas-jelas berada di daerah, lah, mengapa Pemerintah Pusat yang harus menentukan pembagiannya harus begini harus segitu. Bukankah kekayaan alam merupakan karunia Ilahi yang harusnya dinikmati seutuhnya oleh manusia dan mahluk hidup di daerah dimana kekayaan alam itu berada? Mengapa kekayaan alam di pedalaman Papua dibagi-bagi oleh Pemerintah Pusat, dan mengapa dinikmati oleh para elit di Jakarta dan NAD, misalnya.

Pola pembagian kekayaan alam demikian bertemu dengan pola ekonomi pasar. Sehingga kekayaan alam di Papua, yang menikmatinya justru lebih banyak elit di Jakarta dan orang-orang di Amerika Serikat. Sebaliknya, lihatlah, apa yang dinikmati oleh orang asli Papua?

Logika akal sehat mana yang bisa membenarkan kekayaan alam Papua disedot habis dari perut bumi lalu dibawah ke luar negeri. Sedangkan orang-orang asli Papua nyaris hanya jadi penonton, gigit jari, sebagai orang miskin dan bodoh.

Hal yang sama terjadi di Mentawai. Atas logika akal sehat mana yang bisa membenarkan hutan-hutan rimba Kepulauan Mentawai dibabat habis, dibawah keluar Mentawai, rakyat dan Pemerintah Mentawai nyaris tidak kebagian kecuali hanya sisa-sisa dan remah-remah, dan meninggalkan bentangan tanah dengan hutannya yang tandas. Rimba tropis Mentawai nyaris habis. Apa yang didapat orang Mentawai? Kemajuan apa yang diperoleh Mentawai hingga hari ini dari perolehan kekayaan rimbanya?

Dengan pola NKRI, daerah-daerah hanya pasrah menerima keadaan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Tidak lebih hanya berharap belas kasih Pemerintah Pusat. Kekuasaan sisa (residu) diterima oleh daerah. Kekuasaan inti atas segala sumber daya vital tetap di tangan Pemerintah Pusat. Lihatlah lelaku elit daerah, yang sibuk pelesir ke Jakarta untuk lobi-lobi, siapa tahu dapat peruntungan berupa dana dari Pemerintah Pusat. Kasihan sekali.

Lagian, “Pemerintah Pusat” itu mahluk apaan sih sehingga bisa begitu berkuasanya? Ahai, tak lebih hanya segelintir elit di daerah Jakarta Raya, yang luasnya hanya seperti titik merah (the little red dot) dibandingkan luasnya Nusantara.

Disentralisasi dalam kerangka otonomi daerah tidak lebih hanya politik pemersatu yang semu. Diyakini tidak dilandasi basis alami kehendak rakyat daerah. Otonomi daerah ditentukan seutuhnya oleh elit-elit di Jakarta. Elit-elit inilah yang menentukan regulasi otonomi daerah. Memang, sebagian elit ini berasal dari daerah, tapi sekema kerja lelaku dari para elit ini sudah dikoridor oleh konstitusi UUD 1945 yang bersifat sentralistik.

Mungkin perlu penelitian yang mendalam hubungan antara penghisapan sumber daya alam dengan bentuk negara. Tapi dugaan sementara ada korelasi yang kuat antara bentuk negara dan sistem pemerintahan dengan cepatnya laju penghisapan sumber daya alam di daerah-daerah.

Harap diingat, daerah-daerah yang tradisional selalu memiliki kearifan lokal untuk melestarikan alam. Pemusatan kekuasaan dan pola ekonomi pasar yang kapitalistik saja, yang diduga kuat mempercepat laju penghisapan sumber daya alam di daerah-daerah, yang kemudian dibawa pergi untuk kesejahteraan orang-orang pusat dan orang-orang asing yang enak-enakan di luar negeri sana.

Siapapun presidennya, seprogresif apapun ia, sebaik apapun ia, setaat hukum apapun ia, laju penghisapan kekayaan alam di daerah-daerah dan ketimpangan pembagiannya yang sangat tidak adil, akan terus berlangsung. Karena pola kerja eksekutif dan legislatif telah terkoridor oleh konstitusi UUD 1945 yang sentralistik. Presiden tidak bisa apa-apa kecuali melaksanakan konstitusi sentralistik itu, yang diseting bahwa sisa-sisa kekuasaan untuk daerah-daerah.

Kata kuncinya adalah, bangsa ini sebaiknya membuka kembali wacana negara federal dengan mengamandemen atau bahkan merubah sama sekali konstitusi. Percikan wacana beberapa tokoh bangsa terdahulu dan masa kini, dari Bung Hatta dan Bung Natsir sampai HM Amien Rais, tidak salah jika dihidupkan kembali.

Tentu saja, masih sangat banyak pakar hukum tata negara yang berpandangan bahwa bentuk negara, yang antara lain tersurat dalam Pembukaan UUD 1945, tidak bisa diubah. Ini jelas pandangan yang tidak berlandas pada logika akal sehat.

Bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak bisa diubah atau jika merubahnya sama dengan membubarkan negara, tidak lebih adalah dogma. Tidak ada yang tidak bisa diubah di dunia ini, termasuk konstitusi. Tarohlah negara bubar, 'kan bisa dirumuskan kembali bentuknya.  Ahai!

Pandangan “negara bubar” tersebut tidak lebih hanyalah relevan dalam konteks rumusan tertulis, itupun hanya sesaat jika bentuk negara segera diubah dan segera dirumuskan dalam konstitusi-tertulis yang baru. Sedangkan realitas negara, negara dalam kenyataan, sesungguhnya tidaklah otomatis bubar; tidak otomatis unsur-unsur pembentuk negara dalam kenyataan seperti wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat dan pengakuan dunia internasional, otomatis bubar/dicabut pula. Tidak sesimpel itu.

Okelah jika bicara fakta. Bukankah adalah fakta bahwa Nusantara dahulunya tidak bersatu dalam bentuk negara kesatuan seperti saat ini. Melainkan terpisah-pisah: Andalas, Malaka, Tanah Jawa, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Tidak ada ikatan kesatuan. Lah, mengapa hal yang sama tidak dipertahankan saja, dalam bentuk negara federal? Lebih alami dan berbasis historis, bukan?[]

[] Penulis, Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang. Artikel ini telah dimuat di hari Padang Ekspres, Senin, 22 Nopember 2010.




Senin, 01 November 2010

Membongkar Bunker Koruptor

Oleh SUTOMO

Setelah parpol dan DPR, kini giliran pengadilan umum dikritik sebagai tempat berlindung atau bunker koruptor. Adalah Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis kajian yang dikeluarkan Minggu (5/9), memperlihatkan bahwa periode Januari 2010 hingga Juli 2010 sebanyak 54,82 persen terdakwa kasus korupsi dibebaskan oleh pengadilan umum.

Kecaman pun tertuju pada pengadilan umum dalam segala tingkatan, mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung. Sampai-sampai Mahkamah Agung diberitakan bereaksi dengan akan membuat pedoman pemidanaan sebagai acuan para hakim di seluruh Indonesia dalam menjatuhkan hukuman (Kompas, 7/9).

Jika pedoman pemidanaan tersebut jadi dikeluarkan, disebarluaskan, dan dijadikan acuan, maka independensi hakim dalam memutus suatu perkara terancam terdistorsi. Hakim tidak lagi bertanggung jawab pada hukum dan Tuhan melainkan terdistorsi bertanggung jawab pada Mahkamah Agung, pada atasannya secara administratif.

Kelihatannya, para petinggi MA mulai terpengaruh tekanan publik. Maunya publik, semua terdakwa korupsi dihukum berat. Tidak boleh dihukum ringan. Apalagi dibebaskan.

Rujukan publik selalu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Yang dikatakan tidak pernah sekalipun membebaskan terdakwa korupsi. Harusnya, pengadilan umum mencontoh kinerja Pengadilan Tipikor ini.

Logika publik tidak harus sejalan dengan logika hukum. Menurut logika hukum, pengadilan tempat mengadili dan bukan tempat menghukum orang. Jika perbuatan terdakwa terbukti, ya, dihukum. Sebaliknya, jika perbuatan yang didakwakan tidak terbukti atau bukan merupakan tindak pidana, terdakwa dibebaskan. Proses ini bersifat terbuka untuk umum sehingga bebas dipantau dan dinilai oleh publik.

Andai kata semua terdakwa kasus korupsi harus dihukum (sama sekali tidak boleh dibebaskan), maka logikanya, tidak diperlukan lagi proses persidangan di pengadilan. Langsung saja setiap orang yang dicurigai korupsi ditangkap lalu dijebloskan ke penjara, tidak perlu ada pembelaan, tidak perlu ada pengadilan. Semua sangkaan dianggap terbukti. Mirip pengadilan massa terhadap Socrates (470-399 SM) atau pengadilan gereja Katolik terhadap Galileo Galilei (1564-1642).

Hanya saja, memang, kesenjangan pemidanaan antara pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor tersebut patutlah dicermati. Ada beberapa kemungkinan, pertama, sistem penuntutan di Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai hulu Pengadilan Tipikor, sangat ketat dan relatif terbebas dari motif uang atau motif politik.

Sementara, pada sistem penuntutan di kejaksaan, diduga kuat acap disusupi motif diluar hukum, yaitu motif kejar target, motif uang/pemerasan, motif politik, yaitu dijadikan alat oleh lawan politik tersangka/terdakwa untuk menaikkan posisi tawar politik. Akibatnya, banyak kasus prematur dipaksakan masuk pengadilan, ujung-ujungnya terdakwa dibebaskan hakim.

Kedua, kemungkinan mengapa vonis terdakwa korupsi di pengadilan umum relatif rendah dibandingkan Pengadilan Tipikor adalah, karena, perbedaan kharakter perkara yang masuk di kedua jenis pengadilan ini. Pada pengadilan umum, semua perkara masuk, baik kasus besar maupun kecil (dari segi kerugian negara dan perhatian masyarakat). Sedangkan pada Pengadilan Tipikor, hanya kasus besar atau menarik perhatian masyarakat saja yang disidangkan. Sehingga vonis terdakwa korupsi di Pengadilan Tipikor lebih tinggi.

Kata kuncinya adalah, jika sistem peradilan pidana yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, advokat, dan pengadilan belum terbebas dari mafia hukum, maka selama itu pula keluaran dari sistem peradilan pidana tersebut cenderung akan selalu dicurigai publik. Jangan bermimpi memberantas korupsi sebelum bunker mafia hukum dibongkar lebih dahulu. Bongkar dulu korupsi di internal sistem peradilan, baru usut korupsi orang lain.(*)


Senin, 27 September 2010

Markus Kelas Teri

Oleh SUTOMO


Ada satu asas (maxim) dalam dunia makelar kasus (markus). Yakni, bahwa markus kelas teri akan akan memangsa tangkapan yang kecil-kecil. Sebaliknya, markus kelas kakap (big fish) akan memangsa tangkapan kelas kakap juga. Namun, keduanya, semata soal ukuran tangkapan. Sedangkan soal dampak, sama merusaknya.


Kasus markus di Indramayu dimana keluarga Kadana sampai tinggal di kandang kambing karena semua harta ludes terjual akibat diperas oknum aparat, adalah contoh kelakuan markus kelas teri. Dalam kasus ini, korban harus merogoh kocek total Rp14,3 juta dari hasil menjual harta pribadi dan ngutang ke sana kemari untuk kemudian diserahkan kepada oknum polisi, jaksa dan petugas lembaga pemasyarakatan.

Kasus Gayus Tambunan yang menyeret berbagai petinggi di Mabes Polri, Kejaksaan, dan Ditjen Pajak, adalah satu contoh markus kelas kakap. Yang menyikat Rp28 miliar, bahkan disebut-sebut ratusan miliar tersimpan di rekening Gayus di luar negeri.

Bagaimana perlakuan publik terhadap kedua jenis markus ini? Ada kecenderungan sekarang perhatian publik dan petinggi di negeri ini hanya tersedot pada markus kelas kakap seperti Gayus Cs. Lihatlah, melalui pemberitaan media massa, perhatian publik sungguh luar biasa dan berlangsung lama.

Berbeda dengan kasus-kasus markus kelas teri dengan korban buruh tani seperti Kadana. Pemberitaan dan perhatian publik tidak begitu gencar dan biasanya tidak akan berlangsung lama. Lalu, hilang begitu saja dari orbit pemberitaan. Mungkin karena kurang sensasional.

Sekalipun dampak kelakuan markus kelas teri dan kelas kakap itu sama saja merusaknya, akan tetapi penzaliman luar biasa justru lebih berat dialami oleh para korban markus kelas teri, yaitu mayoritas rakyat Indonesia dengan ekonomi menengah ke bawah dan rata-rata buta hukum namun terpaksa berurusan dengan hukum.

Para markus kelas teri ini bergentayangan di polsek, polres, polresta, kejari, pengadilan negeri, advokat, rumah tahanan negara (Rutan), lembaga pemasyarakatan (LP) di seantero negeri. Jika aparat polisi, pangkatnya tidak tinggi. Biasanya Iptu, Ipda, Briptu, dan Bripda. Dengan jabatan sebagai penyidik atau penyidik pembantu.

Karena di kota-kota kecil dengan perkara yang juga relatif kecil, tangkapan para markus kelas teri ini adalah para pedagang kaki lima, buruh, pegawai kecil, pengangguran, dan sekali-kali pengusaha kecil atau pegawai berjabatan tanggung.

Dari segi bahasa tubuh, gerak-gerik, dan pilihan katanya, para markus kelas teri gampang sekali dikenali. Sekelebatan langsung nampak sangat menyebalkan dan tidak bermutu. Dikit-dikit menggosokan ibu jari dengan jari telunjuk. Atau bercuap-cuap gajinya kecil, tugas berat, dan minim biaya operasional. Lain waktu mengatakan kertas kurang, printer rusak, dan sterusnya. Kesemuanya artinya sama. Minta duit. Main peras jika tidak sukarela diberi.

Ciri khas wajah para markus kelas teri ini, seperti pernah saya tulis di harian ini (Wajah Penegak Hukum, 3/2/2006), juga gampang dikenali. Kusam. Tiada aura di wajahnya. Ini karena otaknya jarang digunakan. Ditambah perasaan bersalah pada keluarga dan berdosa pada Tuhan.

Kesimpulannya sederhana. Para markus kelas teri ini selain sangat menyebalkan para pencari keadilan, dampak perbuatan mereka juga sangat masif dan merusak bangsa ini dan, tentu saja, merusak citra institusi. Karena itu, kita tunggu petinggi penegak hukum di seluruh Indonesia membersihkan para sampah-sampah dunia hukum ini. Lalu perhatikan, masuk ke tong sampah mana mereka.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat di harian SINGGALANG, 12 April 2010.

“Whistleblower” Masuk Karung

Oleh SUTOMO


Andai penulis melihat praktik korupsi saat ini, entah di instansi lain atau di institusi sendiri, rasanya berpikir seribu kali sebelum melaporkannya ke penegak hukum. Bahkan, setelah berpikir seribu kali pun, bisa jadi akhirnya urung melapor. Mengapa?


Hitungannya harus cermat betul sebelum melaporkan kasus korupsi orang lain. Karena bisa-bisa justru jadi target. Alih-alih terlapor yang masuk penjara, eh, malah diri sendiri sebagai pelapor yang jadi bulan-bulanan dan masuk penjara duluan. Lihatlah kasus Susno Duadji.

Tulisan ini bermaksud ikut menyuarakan kegelisahan publik perihal betapa rawannya arah pemberantasan korupsi di negeri ini pada masa mendatang. Oleh karena para pemukul kentongan atau peniup peluit (whistleblower), yang melaporkan kasus korupsi di institusinya, sama sekali tidak mendapat perlindungan hukum secara berarti.

Bahkan, perlindungan saksi dan pelapor yang digadang-gadang oleh UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam praktik, ternyata nonsen. Khususnya ketika berhadapan dengan cabang kekuasaan lain, semisal polisi.

Kurang apa Susno Duaji. Ia seorang jenderal polisi berbintang tiga berpangkat Komisaris Jenderal Polisi, mantan Kabareskrim, dan jaringannya luas. Tapi yang terjadi ia justru meringkuk di dalam jeruji besi setelah melaporkan indikasi mafia hukum di institusinya sendiri. Mengutip Saldi Isra (Kompas, 3/6/2010), ia dulu dijerat kasus A, sekarang B dan C. Tapi itu semua permainan saja.

Kasus Susno ini benar-benar edan. Bayangkan saja. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang berkualitas “katanya”, yaitu keterangan para saksi yang tidak bersesuaian satu sama lain. Dan, tanpa barang bukti langsung, misalnya uang yang konon diterima Susno itu. Sehingga wajar saja jika sekarang berkas perkara Susno dikembalikan lagi oleh jaksa penuntut umum ke penyidik.

Terkait hal ini, beberapa saat setelah ditahan, Susno mengirim pesan singkat ke detikcom. Dikatakannya bahwa keterangan saksi-saksi tersebut sangat lemah, karena satu sama lain tidak memiliki korelasi yang jelas. Tak ada satu orang pun yang menyaksikan langsung bahwa Sjahrir Djohan memberikan sejumlah uang kepada dirinya. Haposan katanya dimintai uang oleh Sjahrir Djohan, saksi Samsurizal hanya dipameri bungkusan oleh Sjahrir Djohan, dan Syamsurizal ini tidak pernah sama sekali tahu atau melihat apa isi bungkusan itu.

Jika demikian halnya, lanjut Susno, andai dirinya mengatakan bahwa uang tersebut adalah permintaan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD). Selanjutnya Susno mengajukan 10 atau 100 orang saksi, mulai dari yang membungkus uang, memasukan ke dalam tas, sopir mobil yang mengantar Susno ke rumah BHD, ajudan Susno yang mendampinginya dan lain-lain sehingga keterangan saksi tersebut satu sama lain nampak “bersesuaian”.

Dengan demikian, masih menurut Susno, apakah BHD lantas juga dijadikan tersangka, kemudian ditangkap dan ditahan? Selanjutnya BHD protes, maka cukup dijawab dengan penyidik sangat yakin terbukti. Kalau tidak puas, silakan gugat praperadilan atau menunggu putusan pengadilan. Celaka kan? Ini jelas tuduhan rekayasa. Demikian tulis Susno.

Penulis membayangkan putusan praperadilan akan memenangkan Susno, terutama karena bukti permulaan sebagai dasar penangkapan dan penahanan sangat tidak cukup dan berkualitas. Sehingga arah pemberantasan korupsi menjadi terang dan memancarkan sinar harapan. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang, hakim praperadilan berlogika hukum kuantitatif. Dan Susno pun dikalahkan. Hakim hanya menimbang cukup dengan satu laporan ditambah saksi, dan tidak mau menilai lebih jauh kualitas para saksi, lantas dikatakan proses hukum sudah prosedural (sudah cukup bukti).

Dengan logika hukum demikian, jika penulis mengarang cerita lalu melaporkan si Anu bin Fulan, kemudian penulis bawa saksi agak tiga orang, maka si Anu bin Fulan harus ditangkap dan ditahan. Alasannya, sudah prosedural karena ada laporan ditambah saksi-saksi. Begitukah hukum yang berkeadilan? Sedangkan setiap tindakan pro justitia selalu diberi irah-irah ‘untuk keadilan’ di pojok kiri atas surat-suratnya.

Pasca putusan praperadilan yang mengecewakan itu, banyak pihak akhirnya tinggal berharap pada taji Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan mampu melindungi Susno sehingga Susno bisa leluasa mengungkap para bajingan sampah hukum di institusinya. Namun, sekali lagi, publik dikecewakan. LPSK dicueki. Mabes Polri berkeras Susno tetap dalam tahanan polisi karena Susno berstatus tersangka dan bukan saksi sesuai ruang lingkup perlindungan UU No 13/2006.

Mengapa perihal lemahnya perlindungan peniup peluit mengkhawatirkan dan menggusarkan kita adalah karena, umumnya, logika masyarakat demikian adanya. Suka membanding-bandingkan. Ditambah bahwa ‘teriakan’ dari kasus Susno ini sangat nyaring; sangat luas spektrum pemberitaan oleh berbagai media massa baik cektak maupun elektronik. Wajar jika bernilai kampanye buruk luar biasa bagi para (calon) peniup peluit kasus korupsi.

Orang-orang yang mengikuti informasi akan sangat logis jika merasa takut melaporkan kasus korupsi. Warga kebanyakan yang tidak berpangkat dan tidak terkenal kalau berani-beraninya melaporkan kasus korupsi orang yang berkuasa, ya, pasti dikarungi.

Sebaliknya, jika berpikir sedikit ideologis, agak mendasar, mau jadi martir mungkin, balas dendam, atau apapun motifnya, bolehlah tetap berani melaporkan kasus korupsi. Dengan harapan, seiring waktu, penegak hukum berubah dan berani menggunakan diskresinya dengan benar.
Penegak hukum, seperti polisi, memiliki kewenangan diskresi untuk meneruskan atau menghentikan suatu kasus. Dengan kewenangan diskresi ini, polisi bisa saja menghentikan atau menunda dulu setiap laporan dan proses hukum terhadap peniup peliut kasus korupsi. Lantas mendahulukan kasus yang dilaporkan peniup peluit.

Dengan penggunaan diskresi secara akuntabel berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), kelemahan UU No 13/2006 yang tidak melindungi saksi yang sekaligus berstatus tersangka, dapat ditepis. Dalam konteks ini, terlihat bahwa faktor utama mutu penegakan hukum tetap di tangan manusianya (para penegak hukum). Di tangan penegak hukum yang beritikad baik, aturan yang buruk pun bisa mendatangkan kemaslahatan umum.

Jika aparat enggan menggunakan diskresi tersebut, ke depan, orang pasti akan takut melaporkan kasus korupsi. Itu pasti. Di negeri para mafia, orang cenderung berpikir praktis-praktis saja. Lihatlah, bukankah sudah lama KPK tidak menangkap basah pelaku korupsi kelas kakap?(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Senin, 7 Juni 2010
Malapraktik Profesi Hukum
 
Oleh SUTOMO

Mengapa jika jaksa yang diperiksa polisi harus izin Jaksa Agung, contohnya jaksa kasus Gayus Halomoan Tambunan. Sedangkan advokat bisa langsung ditangkap dan ditahan tanpa izin Ketua Peradi, contohnya advokat Manatap Ambarita. Padahal, advokat dan jaksa keduanya sama-sama berstatus sebagai penegak hukum.


Tulisan ini bermaksud menyoal perbedaan perlakuan tersebut di atas dalam pespektif hukum. Sekaligus mendorong penegakan hukum dan kode etik terhadap malapraktik profesi hukum.

Paradoks advokat

Advokat atau pengacara diberi status oleh undang-undang sebagai penegak hukum, sama dan sederajat dengan polisi, jaksa dan hakim. Pasal 5 ayat (1) UU No. 18/2003 tentang Advokat menyatakan, advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Sejalan dengan itu, putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No.014/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), wadah tunggal advokat Indonesia, merupakan organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara.

Persoalan praktisnya adalah, penegak hukum seperti apa? Karena di satu sisi advokat berstatus penegak hukum. Namun, pada sisi lain, advokat tidak punya kewenangan memaksa selayaknya penegak hukum, seperti polisi dan jaksa, yang bisa menangkap, menahan, menggeledah dan seterusnya. Karena itu, status penegak hukum yang disandang advokat mau tak mau hanya bisa dimaknai sesuai fungsinya sebagai kuasa hukum atau penasehat hukum klien dalam kerangka sistem negara hukum.

Berbeda halnya dengan advokat. Jaksa punya kewenangan merampas kemerdekaan orang, juga sekaligus dilindungi undang-undang dalam melaksanakan tugasnya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sebelum memeriksa jaksa Poltak Manulang, Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka Kurnia, dan Ika Safitri, kepolisian harus mendapat izin Jaksa Agung terlebih dahulu. Hal ini didasarkan pada Pasal 8 ayat (5) UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan.

Sedangkan advokat bisa langsung ditangkap dan ditahan kapan pun tanpa harus izin Ketua Peradi. Pasal 16 UU Advokat hanya memberi hak imunitas profesi dalam sidang pengadilan (!). Setidaknya demikian tafsir jaksa, polisi dan hakim dalam kasus advokat Manatap Ambarita tahun 2008 yang lalu di PN Padang.

Dikatakan menurut tafsir polisi dan jaksa karena Pasal 16 UU Advokat tersebut memang multitafsir. Pasal 16 UU Advokat selengkapnya menyatakan, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” Adanya frasa ‘dalam sidang pengadilan’ membuat pasal ini menjadi multitafsir, bila dihubungkan dengan pasal lain dalam UU Advokat.

Malapraktik profesi

Menurut penulis, frasa kunci pasal di atas adalah ‘menjalankan tugas profesi’ dan bukan ‘dalam sidang pengadilan’. Tidak hanya advokat. Siapa pun yang sedang menjalankan tugas profesi dengan itikad baik, apakah jaksa, polisi, hakim, notaris, dokter, wartawan, dan lain-lain, tidak dapat dituntut secara hukum. Terlebih lagi dituntut secara hukum pidana. Bagaimana rasionalnya?

Hal ini ada kaitannya dengan subjek tindak pidana. Secara umum, subjek tindak pidana adalah orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan korporasi (korporatie). Artinya, hanya perbuatan (handeling) orang perseorangan dan korporasi yang dapat dinilai dalam hukum pidana.

Dengan demikian, idiom “setiap orang” atau “barangsiapa” dalam perumusan pasal-pasal pidana, berarti “siapa saja” orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan korporasi (korporatie). Artinya, sasaran dari norma undang-undang (addressaat norm) tentang tindak pidana adalah “perbuatan” (handeling) orang perseorangan dan “perbuatan” (handeling) untuk dan atas nama korporasi. Bukan “perbuatan” (handeling) dalam kapasitas jabatan atau “perbuatan” (handeling) dalam kapasitas profesi.

Jika konteksnya melaksanakan tugas jabatan (misalnya gubernur, bupati dan lain-lain) maka tanggung gugatnya tunduk pada kaidah hukum administrasi negara. Bukan pidana. Karena jabatan tidak bisa dipenjara. Sementara, jika konteksnya menjalankan tugas profesi, maka tanggung gugatnya tunduk pada kaidah kode etik profesi.

Dalam praktik sering terbalik. Menerima suap dibilang bukan korupsi karena tidak merugikan negara. Seperti pembelaan hakim Muhtadi Asnun, yang merasa tidak korupsi karena uang suap digunakan untuk umroh. Di sini, menerima suap (pidana) jelas bukan tugas dari suatu jabatan. Jadi, rumusnya, setiap pelanggaran hukum pasti melanggar kode etik, sebaliknya tidak setiap pelanggaran kode etik berimplikasi hukum

Maka, ada benarnya mana kala Mahkamah Agung belum langsung memberi sanksi kode etik kepada hakim Asnun, melainkan menunggu putusan pidana terhadapnya berkekuatan hukum tetap.

Sampai di sini persoalannya adalah, siapa yang berhak menilai bahwa seseorang harus bertanggung jawab secara hukum atau harus bertanggung jawab secara kode etik? Apakah yang bersangkutan atau polisi atau jaksa? Ini wilayah tafsir. Karena itu, apabila tidak ada nash yang jelas dan tegas dalam undang-undang, pemutus akhirnya harus diserahkan pada hakim di pengadilan.

Dalam kaitan ini, jika hak imunitas profesi dirumuskan dengan jelas dan terang dalam undang-undang, tidak perlu lagi ada wartawan masuk penjara karena tulisannya, advokat dibui karena pilihan trik advokasinya, dokter dipenjarakan karena teknis pilihan tindakan medisnya, dan seterusnya. Jadi, tidak dikit-dikit dibawa ke proses hukum, lantas berkata biar hakim yang memutuskan.

Kebebasan profesi harus dilindungi undang-undang. Pada saat yang sama penegakan hukum dan kode etik juga perlu ditegakan terhadap setiap malapraktik profes hukum. Sebab, kalau tidak, tertib bernegara bisa terganggu. Coba saja kalau polisi mogok bertugas agak seminggu. Bisa-bisa terjadi huru-hara nasional.

Kalau advokat mogok mungkin yang paling hepi adalah oknum polisi dan jaksa yang berparadigma advokat sebagai musuh. Terlihat antara lain bermuka masam saat berurusan dengan advokat atau pura-pura ramah tapi kasak-kusuk di belakang. Bukan begitu sanak?(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres (JPNN), Selasa, 15 Juni 2010.
Stempel Koruptor

Oleh SUTOMO

Sebanyak 33 orang anggota DPRD Propinsi Sumbar periode 1999-2004 dinyatakan tidak terbukti korupsi dan dibebaskan hakim pada tingkat Mahkamah Agung. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga, jangan buru-buru menuduh orang korupsi sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.


Jika tuduhan korupsi itu kemudian tidak terbukti, maka hukumnya fitnah dan diancam pidana empat tahun penjara (vide Pasal 311, 317, 318, 319 KUHP). Dalam kaitan ini, pihak yang merasa difitnah berhak menuntut secara hukum, baik secara pidana berdasarkan pasal-pasal tersebut, maupun dengan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum.

Dalam kejadian di atas, hanya kebesaran hati dan kelapangan jiwa saja, mungkin, yang membuat keluarga korban yang difitnah, tidak atau belum menuntut secara hukum.

Akan tetapi, tidak ada tuntutan hukum dari keluarga korban fitnah tersebut justru melahirkan konsekuensi moral yang luar biasa. Yaitu, mana kala keluarga korban ikhlas menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Ini lebih gawat. Dunia akherat pertanggungjawabannya.

Secara moralitas agama, dikatakan bahwa fitnah lebih keji dari pembunuhan. Orang yang memfitnah sama dengan memakan bangkai saudaranya sendiri. Bayangkan itu.

Apa yang diutarakan di atas adalah rasional atau logika kongkrit bagaimana asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocent) itu bekerja. Bahwa seseorang wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Asas ini bukan jargon kosong. Jadi, jangan dianggap enteng.

Boleh memberi stempel koruptor. Tapi hanya pada orang yang telah divonis hakim terbukti korupsi dan vonis hakim itu telah berkekuatan hukum tetap. Stempel koruptor itu pun tidak berlaku sepanjang hayat melainkan hanya sepanjang rentang waktu yang bersangkutan menjalani pidana. Ketika pidana sudah selesai dijalani, stempel koruptor harus dicabut. Karena terpidana sudah selesai menjalani hukumannya, sudah menebus kesalahannya, harmoni sudah kembali seimbang.

Ada kecenderungan sekarang, terutama aktivis antikorupsi seperti Saldi Isra dan Febri Diansyah dari ICW, gemar sekali memberi cap koruptor pada seseorang yang belum tentu bersalah. Lihatlah, opini Saldi Isra yang “mengadili” Ketua DPR RI Marzuki Alie sebagai mantan tersangka korupsi (kasusnya sudah di-SP3-kan) sewaktu menjabat Direktur PT Semen Baturaja (Kompas, 5/7/2010). Kontan tuduhan Saldi tersebut dibantah Marzuki Alie dengan menyebutnya sebagai pencemaran nama baik dan menyalahi prinsip dan etika kecendikiawanan (Kompas, 6/7/2010).

Dalam kejadian lain, Saldi menanggapi banyaknya advokat yang menangani kasus korupsi mendaftar menjadi calon pimpinan KPK, dengan pernyataan yang insinuatif dan menggeneralisasi, bahwa setiap advokat yang pernah menangani kasus korupsi otomatis bermasalah. "Pengacara yang pernah mendampingi koruptor, saksi ahli yang meringankan koruptor itu bermasalah. Sebab masih ada pengacara lain yang tidak mau mendampingi kasus korupsi," tandas Saldi sebagaimana dikutip detiknewscom. Logika guru besar hukum dari Fakultas Hukun Universitas Andalas ini seperti bukan logika sarjana hukum saja.

Hup, jangan lupa. 33 orang anggota DPRD Sumbar di atas diproses hukum dengan sangkaan korupsi dan dijebloskan ke tahanan, antara lain, juga karena desakan dan dorongan Saldi Isra dan kawan-kawan dari Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB). Nyatanya, tuduhan Saldi dan kawan-kawan kemudian tidak terbukti secara hukum dan terdakwa dinyatakan tidak bersalah serta dibebaskan. Inilah dosa sosial dan intelektual Saldi Isra. Tanpa berarti kita mengecilkan sumbangsih Saldi Isra pada ranah keilmuan dan pada bangsa ini.

Ironis sekali. Saldi Isra, awalnya, mendapat popularitas dan memperoleh “jembatan” ke pentas nasional gara-gara kasus DPRD Sumbar tersebut, dengan jargon yang sangat terkenal pada waktu itu: “korupsi berjamaah”. Tragisnya, beberapa diantara anggota dewan tersebut bahkan meninggal dunia pada waktu proses hukum sedang berjalan.

Soal argumen bahwa putusan hakim bukan berarti membenarkan anggota dewan bisa menetapkan anggaran melebihi rerata kehidupan rakyat Indonesia, tidak ada kepekaan terhadap krisis, hanyalah benar dari sudut pandang kepatutan (fatsoen). Tidak otomatis melanggar hukum positif. Karena hukum memang membolehkan penetapan angggaran itu. Andai pun itu dianggap korupsi, sama artinya presiden, menteri, pegawai BUMN yang bergaji besar di atas rerata penghasilan rakyat Indonesia, juga korupsi. Ini jelas tidak benar dan sesat pikir.

Terakhir. Tulisan ini hendak mengatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, seperti dilakukan aktivis seperti Saldi Isra dan kawan-kawan, perlu diletakkan dalam koridor hukum yang benar dan akuntabel. Sebab, jika tidak, potensial menzalimi orang, sekaligus rawan ditunggangi petualang politik atau kepentingan cari popularitas untuk berbagai tujuan pragmatis. (*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Artikel ini telah dimuat Harian Independen SINGGALANG, 8 Juli 2010.
Pengkritik Kok Disuruh Cari Solusi

Oleh SUTOMO

GELI sekali membaca artikel di halaman satu harian SINGGALANG (terbit di Padang, Sumbar) bertajuk "Kaum Terdidik Mencaci Bangsa Sendiri" (19/8). Bagaimana seorang psikolog dari RSJ HB Sa’anin (Kuswardani Susari Putri) dan sosilog dari Unand (Prof Damsar) menanggapi kecenderungan beberapa kaum terdidik yang suka mencaci maki bangsa sendiri. Antara lain disebutkan kecenderungan tidak senang melihat figur berhasil, suka mengkritik, tapi tidak ada solusi yang diberikan. 


Senang atau tidak senang terhadap keberhasilan seorang figur mencapai suatu posisi penting, seperti di pemerintahan, memang subjektif sifatnya. Jika tidak senang patutlah dipertanyakan apa motifnya. Menjadi masalah jika diekspresikan dengan mencaci maki, apalagi membuat pernyataan yang bernada insinuatif.

Tulisan ini mencoba memberi catatan kritis bahwa kritik itu wajib sebagai elemen penting demokrasi. Soal ada solusi atau tidak semata soal tafsir. Sebab, dibalik setiap kritik hakikatnya sudah tercantum solusi di dalamnya, tanpa harus diuraikan secara detail bagaimana solusi itu. Contoh, jika warga mengkritik pemerintah gagal mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok, artinya, solusinya simpel sekali—sudah ada dibalik pernyataan itu sendiri—yakni, kendalikan harga.

Tidak mesti disebutkan cara-cara detailnya seperti operasi pasar, mengendalikan laju inflasi, menstabilkan nilai tukar rupiah dan seterusnya dengan subrincian yang mendetail pula. Yang harus memikirkan semua itu adalah pemerintah dan pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Rakyat tinggal membayar pajak dan menikmati hasil kerja pemerintah. Jika kemudian hasil kerja pemerintah dinilai tidak memuaskan, adalah hak setiap warga negara untuk menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintah.

Bisa dimaklumi akan selalu ada pihak, terutama pemerintah, yang tidak habis mengerti mengapa ada saja orang yang kerjanya hanya mengkritik. Namun, sikap ‘antikritik’ begini jelas sebuah kesesatan logika berpikir.

Pemerintah tugasnya memang bekerja untuk rakyat—jangan berharap pujian. Peran pihak diluar pemerintah, salah satunya, mengingatkan (memberi kritikan). Coba, apa tidak rikuh jika orang yang diluar pemerintah tapi kerjanya hanya memuji-muji saja setiap hari? Ini kan tugasnya humas? Jangan dibalik-balik.

Ketika dikritik, malah menantang orang yang mengkritik untuk bekerja dan memberi solusi. Lah, bekerja melakukan tugas kepemerintahan itu kan tugasnya pemerintah yang telah dibiayai rakyat dengan pajak. Tugasnya orang di luar pemerintah menjalankan fungsinya masing-masing pula dengan baik.

Jika kalangan oposisi dan aktivis sudah menjalankan tugasnya dengan baik, misalnya, mengkritik penegakan hukum. Ini suatu aktivitas kerja juga. Karena mengkritik memang tugas dan fungsi oposisi dan aktivis.

Sama halnya dosen mengajar dengan baik, psikolog melayani pasiennya dengan profesional, penulis menggoreskan penanya, pedagang ikan mejajakan dagangannya—semua merupakan aktifitas kerja. Jangan dikira pemerintah saja yang bekerja. Bahkan, ada ujaran agak ekstrim, bahwa bagi kalangan dunia usaha, ada atau tidak ada pemerintah bisnis akan jalan terus.

Jadi, silahkan saja terus dikritik siapapun, terutama pemerintah. Soal solusi bagaimana pemerintah harus bekerja begini dan begana, itu tugasnya pemerintah memikirkannya, karena demikian mereka dibiayai oleh uang rakyat. Jangan pula rakyat dibebani harus memikirkannya.

Mirip dengan logika aparat penegak hukum ketika mendapat laporan masyarakat perihal adanya mafia hukum, seperti sering kita saksikan di media massa: silahkan buktikan oleh masyarakat maka akan kami tindak. Paradigmanya seperti dalam hukum perdata, siapa yang menuduh harus membuktikannya. Lah, mafia hukum merupakan tindak pidana, adalah tugas aparat hukum untuk membuktikannya, bukan tugas masyarakat pelapor. Masyarakat cukup melaporkan peristiwanya, aparat yang harus mencari buktinya (membuktikannya).(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang.
Menghapus Remisi Koruptor

Oleh SUTOMO

Pemberian remisi (pengurangan masa pidana) bisa saja dihapuskan. Syaratnya, tujuan pemidanaan dan konsep pemasyarakatan diubah dulu, dari pembinaan diubah menjadi balas dendam. Dalam konsep terakhir ini, tidak boleh ada remisi sekalipun terpidana berkelakuan baik selama dipenjara. Mungkinkah?

 

Sampai hari ini, pemasyarakatan bagi terpidana di Indonesia masih menggunakan konsep pembinaan. Dalam konsep ini, terpidana dibina supaya berubah menjadi lebih baik sebelum dibebaskan dan kembali ke tengah masyarakat. Karenanya, siapa pun terpidana yang telah menjalani masa pidana tertentu serta berhasil dibina sehingga berkelakuan baik, otomatis mendapat hadiah remisi.

Maka, setiap momen hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, para narapidana bersuka cita. Pada ultah Kemerdekaan RI ke-65 yang lalu, misalnya, beberapa terpidana kasus korupsi mendapat berkah, sebut saja besan SBY Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjudin. Keempatnya adalah mantan Diputi Gubernur Bank Indonesia. Aulia Pohan bahkan bisa langsung bebas bersyarat karena yang bersangkutan sudah menjalani dua pertiga dari masa pidananya.

Praktek remisi demikian telah berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya. Akan tetapi, tahun ini, tiba-tiba menuai pro dan kontra, terutama dikalangan aktivis dan KPK.

Diluar dugaan KPK ikut bersuara. Mengapa dikatakan diluar dugaan adalah karena KPK harusnya tidak dalam posisi menafsirkan peraturan perundang-undangan, melainkan melaksanakannya. Tak kurang Wakil Ketua KPK M Jasin mengecam pemberian remisi dan grasi kepada terpidana kasus korupsi.

Namun pemerintah tidak ada pilihan lain. Hal ini karena kata kunci dari remisi adalah hak, yaitu hak terpidana yang telah memenuhi syarat. Jika hak ini tidak diberikan, pemerintah dianggap telah merampas hak orang lain, dan ini bisa digugat dengan dasar perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheids daad), vide Pasal 1365 KUH Perdata.

Sebaliknya, dari sudut pandang negara, hak negara untuk menghukum terdakwa otomatis berakhir ketika terdakwa divonis hakim dan eksekusi telah dijalankan. Saat terpidana telah dieksekusi, telah dimaksukkan ke penjara, giliran hak terpidana muncul, dan kebalikannya merupakan kewajiban negara untuk memberikan hak itu.

Pasal 14 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa remisi merupakan hak terpidana. Yang teknis pengaturannya ditentukan lebih lanjut oleh PP No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Sesuai aturan di atas, terpidana berhak mendapatkan remisi jika telah memenuhi syarat (i) berkelakuan baik selama menjalani pidana dan (ii) telah menjalani minimal 6 (enam) bulan penjara (kejahatan biasa) atau 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana (kejahatan korupsi, teroris, pembalakan liar dan narkotika). Hanya dua jenis pidana yang tidak mungkin diberikan remisi, yakni penjara seumur hidup dan hukuman mati.

Dalam kaitan ini, andai kata hukum menggunakan asumsi atau prasangka buruk bahwa kelakuan baik terpidana hanyalah sandiwara belaka, maka tidak akan pernah ada remisi. Sama halnya, andai kata konsep pemidanaan kita adalah balas dendam, juga tidak akan pernah ada remisi.

Napi yang berkelakuan baik, taat aturan, rajin sholat, mengaji, ramah, rajin bekerja, menempah diri lahir batin jangan harap dapat pengurangan hukuman. Begitu pun sebaliknya, napi yang berkelakuan buruk, tidak taat aturan, suka berkelahi sesama napi, jual narkoba jalan terus, pemalas, tidak rajin bekerja, apalagi beribadah pun jangan harap dapat remisi. Keduanya sama saja. Tak ada bedanya. Karena pemidanaan adalah balas dendam.

Untunglah, sistem hukum pidana dan pemasyarakatan kita sejak dulu kala telah menetapkan bahwa tujuan penghukuman dan pemasyarakatan adalah pembinaan. Bukan balas dendam. Penghukuman dengan tujuan balas dendam tinggal sejarah tempo dulu, peninggalan abad kegelapan, jaman jahiliah.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat Harian Singgalang (hal. 1), Selasa, 24 Agustus 2010.