Senin, 29 November 2010

Pembonsaian Kasus Gayus

Bagi siapa saja yang rutin menonton persidangan kasus Gayus HP Tambunan atau setidaknya rutin mengikuti pemberitaannya, semua pasti setuju, Gayus adalah sosok yang sangat cerdas, tenang, dingin dan punya selera humor yang sangat bagus. Dengan kata lain, ia punya semua kualitas untuk menjadi aktor besar dalam lakon mafia.

Dalam setiap kasus besar, yang menarik bagi saya selalu bukan hukumnya, karena hukumnya (pasalnya) ya itu itu saja, melainkan kharakter tokoh-tokohnya. Dengan tipikal kharakter seperti Gayus, sangat masuk akal jika ia potensial membangun sekenario “pembonsaian” terhadap kasusnya. Atau, jika bukan ia yang membangun sekenario pembonsaian itu, maka ia cenderung akan setuju-setuju saja kasusnya dibonsai. Suatu hal yang rasional sekali dari segi taktis hukum.

Sebagaimana disorot banyak pihak, termasuk juga jadi kegeraman penasehat hukum Gayus, Advokat Adnan Buyung Nasution, kasus Gayus jelas sekali telah dikerdilkan atau dibonsai. Dari harusnya diduga melibatkan banyak pihak, meliputi atasan Gayus dan para pengusaha raksasa yang kasus pajaknya ditangani Gayus, termasuk Group Bakrie, serta para oknum penegak hukum yang terlibat dalam jejaring mafia hukum didalam kasus ini, menjadi hanya difokuskan pada aktor lapangan penerima suap seperti Gayus dan Kompol Arafat Enanie Cs. Pemberi suap, wajib pajak, mana?

Dengan jurus pembonsaian itulah Gayus bisa “menggerakkan” kasus ini dari dalam tahanan. Sehingga Gayus terbela diam-diam dengan sendirinya. Bahkan, mungkin saja, menjaring uang lebih banyak lagi justru dari balik jeruji tahanan. Pihak yang potensial tersudut oleh proses hukum cenderung melakukan apa saja supaya tidak kena. Suatu hal yang manusiawi sekali.

Tangan-tangan tidak terlihat yang akan membela Gayus sudah pasti orang-orang berkuasa yang potensial terseret dalam pusaran kasus Gayus. Ya, siapa lagi jika bukan para cukong dan para jagoan mafia hukum sebagai kolaboratornya. Dengan membela Gayus, para cukong dan jagoan ini hakikatnya membela diri mereka sendiri.

Langkah kaki Gayus hingga ke Bali dapat dibaca sebagai bagian dari gerakan sekenario besar “pembonsaian” kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus. Adalah sangat tidak masuk akal jika Gayus hanya pelesiran nonton tenis ke Bali. Tidak. Pasti ada misi besar di sana.

Pembicaraan sebuah misi besar kalangan mafia, sebagaimana sering digambarkan dengan meyakinkan dalam film-film Hongkong dan Holywood, bukan di lobi-lobi hotel atau restoran terkenal, tetapi di keramaian pacuan kuda atau di kehingaran pertandingan tenis. Ah, jadi teringat film “Public Enemies” (2009) yang dimainkan dengan sangat brilian oleh aktor Johnny Depp. Hanya orang-orang jenius yang bisa melakukannya! He-he-he-he, kebanyakan nonton film nih.

Jika sekenario pembonsaian ini terbongkar, maka lakon besar mafia hukum ini akan berakhir hepi ending. Penonton pasti senang dibuatnya.

Sebaliknya, jika pembonsaian ini berhasil sukses, maka drama mafia pajak ini akan berakhir mengecewakan. Penonton pasti keluar ruangan dengan bersungut-sungut. Orang-orang akan berteriak marah. Karena tidak ada yang berubah dalam kultur penegakan hukum di negeri ini, kecuali jurus-jurus kalangan mafia hukum yang makin tangguh saja dari hari ke hari. Berbalas pantun dengan aparat yang bisa dibeli.

Sayangnya, episode pembonsaian inilah yang penonton saksikan saat ini.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang. 

Minggu, 28 November 2010

PNS Mania



PENERIMAAN calon pegawai negeri sipil (CPNS) segera dibentangkan pada akhir tahun ini. Berbagai departemen atau instansi dan pemerintah daerah membuka ribuan lowongan bagi lebih kurang 35 juta penganggur di republik ini. Para lulusan sekolah atau perguruan tinggi mungkin deg-deg-ser menunggu hari tes dan hasilnya.

Tulisan ini mencoba mengemukakan gejala menarik sekaligus ironik seputar dunia para PNS mania. Tentu PNS mania di sini bukan diartikan kegilaan, tetapi obsesi, hasrat, antusiasme, dorongan yang kuat, dan cinta sekalangan orang pada PNS.

Di tengah sempitnya peluang kerja, PNS dijadikan tumpuan harapan penopang masa depan. Bekerja sebagai PNS di mata banyak orang dipandang lebih menjanjikan daripada pekerja mandiri (wiraswasta)  atau pegawai perusahaan swasta, karena gaji tetapnya dan, tentu saja, jaminan hari tua berupa uang pensiun. Di sinilah menariknya. Dalam alam-sadar maupun bawah-sadar sekalangan orang sekolahan, menjadi PNS seperti sebuah cita-cita tertinggi setelah menamatkan sekolah, semacam prestise di tengah keluarga dan masyarakat. Sementara pada sisi lain, peluang menjadi PNS sangat kecil, dan yang sudah kecil ini pun menjadi tambah kecil apabila proses seleksi kelulusannya menggunakan lagu lama: kongkalingkong ala kingkong (semoga tak terjadi).

Barang kali sidang pembaca pernah memikirkan, mengapa penganggur begitu banyak di republik ini, apakah karena pemerintah tidak sanggup menciptkan lapangan kerja, ataukah angkatan kerjanya sendiri yang tidak mampu meraup peluang atau menciptkan lapangan kerja mandiri (berwiraswasta)?

Tentu sah-sah saja pendapat sebagian kalangan, kalau penyebab tingginya angka pengangguran karena kekurangmampuan atau katakanlah keterbatasan suatu rezim pemerintahan untuk melahirkan lapangan kerja baru. Dengan pembahasaan lain, bukan pencari kerja yang tidak mampu bekerja tapi pemerintahlah yang tidak sanggup menciptakan lapangan kerja, alias ada nuansa struktural di balik tingginya angka pengangguran; sama sahnya anggapan yang menyatakan, pengangguran lebih disebabkan kelemahan individu menangkap peluang dan melakukan pemosisian dalam peta persaingan kerja.

Sambil menunggu pencapaian kinerja pemerintahan SBY yang tidak lagi muda seumur kebun singkong ini, ada baiknya mengenali kharakteristik dunia kerja, lalu memikirkan kualitas keluaran dunia pendidikan, dimana sekarang, sialnya, banyak yang menganggur. Hal ini penting sebagai modal (bekal) bagi yang tengah menuntut ilmu atau yang sedang pontang-panting mencari kerja, tentu dilanda cemas dan kegamangan, agar tidak cemas dan gamang lagi.

Tenaga terdidik, sejauh yang kita lihat, adalah produk kurikulum dan kebijakan pendidikan secara nasional. Pendidikan tinggi kita, misalnya, memang seperti tidak di-design untuk melahirkan tamatan yang umpama kata seperti “tukang insinyur” yang, tidak hanya intelek, tetapi juga ahli dan sarat dengan keterampilan. Contohnya pendidikan tinggi hukum, keluarannya adalah “pemikir hukum” dan bukanya “ahli hukum” yang bisa menerapkan teori hukum ke dalam pemecahan masalah in concreto. Sedangkan ilmu hukum tergolong ilmu terapan (applied science), tapi mengapa keluaran fakultas hukum cenderung gagap menerapkan ilmunya? Berarti memang ada yang salah pada sistem pengajaran di fakultas hukum.

Yang terjadi—dengan kurikulum seperti sekarang—mahasiswa by design berlomba mengumpulkan poin satuan kredit semester (SKS) sebanyak-banyaknya agar cepat tamat dan ber-indeks prestasi kumulatif (IPK) tinggi. Konsekuensi lanjutannya adalah, mahasiswa pintar hanya diukur dari seberapa cepat tamat dan tinggi IPK-nya, terlepas apakah IPK itu diperoleh dengan melulu hapalan, tetapi gagap dalam berlogika, berdiskusi, dan apalagi kalau juga anti organisasi. Akhirnya, ya, berpeluang besar jadi pengangguran.

Namun demikian, mungkin saja ada faktor lain (faktor-X) penyebab fenomena di atas. Yang jelas, di tengah lautan penganggur di negeri ini, apalagi yang dipunya pencari kerja kecuali secercah harapan? Akhirulkata, selamat berjuang dengan penuh fairness bagi pelamar PNS musim ini.[]

Sabtu, 27 November 2010

Memutus Rantai Gayus

Membongkar mafia hukum sebetulnya sangat mudah. Karena ia berjalin berkelindan. Dapat satu ruas akan ketemua semua ruasnya. Pangkal soalnya hanya kemauan; mau tidak mengusut mafia hukum disekitar kasus Gayus sampai ke akar-akarnya?

Menjadi pertanyaan banyak pihak, mengapa berhenti pada penerima suap saja, Gayus Cs. Kita tahu Gayus adalah penerima suap dari wajib pajak yang berperkara di pengadilan pajak. Pemberi suap (wajib pajak) mana? Kok tidak ikut diusut oleh kepolisian? Ini malah sibuk sendiri urus kasus partikular Gayus, penerima suap. Pemberi suap mana?

Masa sih penerima suap di Dirjen Pajak cuma satu orang, yaitu Gayus. Sedangkan pemberi suapnya diakui sendiri oleh Gayus ada banyak, konon ada belasan perusahaan, Group Bakrie yang paling besar. Tapi, tunggu dulu, apa benar cuma Gayus yang menerima. Mustahil. Gayus pasti cepat sekali belajar. Ia belajar dari seniornya. Belajar melalui pandangan mata…oh begini cara dapat duit banyak.

Sah-sah saja jika ada yang bilang sepasang mata sudah dikedipkan ke arah Kapolri, supaya kasus Gayus jangan sampai jatuh ke tangan KPK. Jika sampai ke tangan KPK, wah, susah ngontrolnya. Bisa nyebar ke mana-mana. He-he-he-he.

SBY bilang, melalui Jubirnya Julian Aldrin Pasha, kasus Gayus ditangani Polisi. Kepolisian Negara RI dianggap masih memiliki kredibilitas untuk menuntaskan perkara korupsi dengan terdakwa mantan pegawai pajak Gayus HP Tambunan itu. Demikian dikutip banyak media massa, Rabu (23/11).

Sampai disini sebenarnya oke-oke saja. Gayus memang pas ditangani polisi. Gayus kan orang sipil nonpenegak hukum. Tapi seandainya ada petinggi di kepolisian yang terlibat, dan ini sangat kuat sekali sinyalemennya, apalagi polisinya berbintang pula, Kepolisian RI jelas sulit objektif lagi mengusutnya. Jeruk akan makan jeruk. Jelas susah diterima.

Sulit diterima logika sehat mantan Karutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok Kompol Iwan Siswanto berani memberi izin Gayus pelesiran ke Bali, sekalipun disuap, sebab Gayus adalah tahanan kelas kakap yang disorot tidak saja di Indonesia tapi juga dunia internasional. Kuat dugaan Kompol Iwan Siswanto cukup pede oleh karena ada semacam “perlindungan” dari atasannya dan terus ke atasnya lagi. Berkelindan.

Mengapa sampai berkelindan begitu pasti ada sebabnya. Karenanya, menjadikan Gayus sebagai pintu masuk adalah sangat tepat. Sekaligus mengungkap mata rantai mafia hukum di tubuh pengadilan, kepolisian, kejaksaan dan advokat.

Sebetulnya, sudah lima ruas terungkap: Gayus (Dirjen Pajak), Muhtadi Asnun (pengadilan), Haposan Hutagalung (advokat), Cirus Sinaga (kejaksaan), dan Kompol Arafat Enanie Cs (kepolisian). Tetapi, mata rantai yang telah terungkap ini baru kelas pemain cadangan. Bukan pemain inti.

Pemain inti jelas sangat berkuasa, sangat kaya, dan sangat berbintang. Tapi episode kali ini masih dimenangkan oleh tokoh antagonis, don, pemain inti drama pergayusan. Hmm, teori konspirasi selalu menggoda.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang.

Rabu, 24 November 2010

Darurat Mafia Hukum

Singgalang, 20 Nopember 2010
 
Gayus Halomoan Pertahanan Tambunan, tahanan tersangka korupsi kasus pajak, akhirnya mengaku pelesiran ke Bali dan menonton ratu tenis berkaki indah Daniela Hantuchova v Yanina Wickmayer dalam  Commonwealth Bank Tournament of Champions di Nusa Dua, Bali, Jum’at (5/11). Pengakuan diiringi derai air mata terjadi di persidangan, Senin (15/11), sehingga mengakhiri polemik tentang foto dan video mirip Gayus, yang menggegerkan jagat hukum negeri kita.

Sungguh ironis. Harusnya Gayus diusut oleh polisi atau jaksa. Tapi yang terjadi malah polisi dan jaksa pula yang harus diusut karena ikut makan duit suap Gayus. Jeruk akhirnya makan jeruk, sesudah jeruk dimakan Gayus.

Ironi belum berakhir. Sebagai benteng terakhir keadilan, hakim harusnya memeriksa dan mengadili terdakwa. Tapi yang terjadi malah hakimnya (Muhtadi Asnun) betul yang harus didadili karena diduga kuat disuap Gayus. Melingkar-lingkar dan kemudian saling jerat leher sendiri.

Orang selincah dan secerdas Gayus bertemu mafia hukum. Klop. Terbukti dinginnya jeruji tahanan tidak mampu menghentikan sepak terjang Gayus. Setelah diduga kuat menyuap Kompol Arafat Enanie Cs dan hakim Muhtadi Asnun, kini Gayus menciptakan perkara baru, diduga kuat menyuap Kompol Iwan Siswanto dan delapan orang polisi petugas Rutan Mako Brimob Kepala Dua, Depok.

Apa sih yang tidak bisa dibeli dengan uang di negeri ini? Mungkin demikian keyakinan Gayus. Ia telah membuktikan dengan sendirinya. Semua oknum aparat hukum yang berurusan dengannya, bisa disuap.

Padahal, Gayus sempat menuai simpati publik ketika ia berani mengungkap lakon mafia hukum disekitar kasusnya. Kini, Gayus kembali dibenci dan dicaci maki publik. Saking jengkel, Moh Mahfud MD mengusulkan Gayus dihukum berat dan dimiskinkan saja. "Janganlah, kasihan anak-istri", kata Gayus saat ditanya tanggapannya.

Gayus sebaiknya dihukum berat. Tapi mafia hukum harus dihukum lebih berat lagi. Penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat) yang menyuap/menerima suap dalam kasus Gayus, harus dihukum berat, diperberat 1/3 dibanding warga kebanyakan, termasuk dibandingkan hukuman Gayus.

 

Jika terbukti, oknum polisi seperti Arafat Cs, jaksa Cirus Cs dan Advokat Haposan harus dihukum seberat-beratnya, misalnya 20 tahun penjara dan semua harta korupsinya disita. Sedangkan hakim Asnun, jika terbukti, harus dihukum paling berat, hukuman mati layak untuk hakim korup demikian. Jika hanya dihukum tiga sampai lima tahun, nyaris tidak ada efek jera dan pertakut bagi aparat serupa.


Hukuman yang menggetarkan sangat perlu. Karena negara ini sudah pada level darurat mafia hukum. Siapa yang harus mengusut siapa, tidak jelas lagi. Kasus Gayus hanya satu contoh kecil saja. Jangan dikira di daerah tidak ada Gayus yang lain.[]

(*) Penulis, Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang. Artikel ini telah dimuat di Harian SINGGALANG, Sabtu, 20 Nopember 2010.

Jumat, 19 November 2010

Mengapa Sebaiknya Negara Federal

Oleh SUTOMO

Dalam konteks pembagian duit, selama ini daerah-daerah propinsi dan kabupaten/kota dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya kebagian sisa-sisa atau remah-remah, berbentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat. Secara umum, kebijakan pengelolaan sumber daya negara yang vital (keuangan, agama, politik luar negeri, pertahanan, sumber daya alam), semuanya nyaris ditentukan seutuhnya oleh Pemerintah Pusat, lebih khusus lagi oleh elit-elit di Jakarta. Gubernur mau keluar negeri saja harus izin elit Pemerintah Pusat yang bernama Presiden.

Atas dasar apa pemusatan demikian, kecuali hanya atas dasar konstitusi UUD 1945 dan perundangan organik sebagai pelaksanaan dari konstitusi itu. Dasar logika akal sehat jelas sulit ketemu.

Pembagian kekayaan alam di daerah-daerah, contohnya. Kekayaan alam itu sudah jelas-jelas berada di daerah, lah, mengapa Pemerintah Pusat yang harus menentukan pembagiannya harus begini harus segitu. Bukankah kekayaan alam merupakan karunia Ilahi yang harusnya dinikmati seutuhnya oleh manusia dan mahluk hidup di daerah dimana kekayaan alam itu berada? Mengapa kekayaan alam di pedalaman Papua dibagi-bagi oleh Pemerintah Pusat, dan mengapa dinikmati oleh para elit di Jakarta dan NAD, misalnya.

Pola pembagian kekayaan alam demikian bertemu dengan pola ekonomi pasar. Sehingga kekayaan alam di Papua, yang menikmatinya justru lebih banyak elit di Jakarta dan orang-orang di Amerika Serikat. Sebaliknya, lihatlah, apa yang dinikmati oleh orang asli Papua?

Logika akal sehat mana yang bisa membenarkan kekayaan alam Papua disedot habis dari perut bumi lalu dibawah ke luar negeri. Sedangkan orang-orang asli Papua nyaris hanya jadi penonton, gigit jari, sebagai orang miskin dan bodoh.

Hal yang sama terjadi di Mentawai. Atas logika akal sehat mana yang bisa membenarkan hutan-hutan rimba Kepulauan Mentawai dibabat habis, dibawah keluar Mentawai, rakyat dan Pemerintah Mentawai nyaris tidak kebagian kecuali hanya sisa-sisa dan remah-remah, dan meninggalkan bentangan tanah dengan hutannya yang tandas. Rimba tropis Mentawai nyaris habis. Apa yang didapat orang Mentawai? Kemajuan apa yang diperoleh Mentawai hingga hari ini dari perolehan kekayaan rimbanya?

Dengan pola NKRI, daerah-daerah hanya pasrah menerima keadaan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Tidak lebih hanya berharap belas kasih Pemerintah Pusat. Kekuasaan sisa (residu) diterima oleh daerah. Kekuasaan inti atas segala sumber daya vital tetap di tangan Pemerintah Pusat. Lihatlah lelaku elit daerah, yang sibuk pelesir ke Jakarta untuk lobi-lobi, siapa tahu dapat peruntungan berupa dana dari Pemerintah Pusat. Kasihan sekali.

Lagian, “Pemerintah Pusat” itu mahluk apaan sih sehingga bisa begitu berkuasanya? Ahai, tak lebih hanya segelintir elit di daerah Jakarta Raya, yang luasnya hanya seperti titik merah (the little red dot) dibandingkan luasnya Nusantara.

Disentralisasi dalam kerangka otonomi daerah tidak lebih hanya politik pemersatu yang semu. Diyakini tidak dilandasi basis alami kehendak rakyat daerah. Otonomi daerah ditentukan seutuhnya oleh elit-elit di Jakarta. Elit-elit inilah yang menentukan regulasi otonomi daerah. Memang, sebagian elit ini berasal dari daerah, tapi sekema kerja lelaku dari para elit ini sudah dikoridor oleh konstitusi UUD 1945 yang bersifat sentralistik.

Mungkin perlu penelitian yang mendalam hubungan antara penghisapan sumber daya alam dengan bentuk negara. Tapi dugaan sementara ada korelasi yang kuat antara bentuk negara dan sistem pemerintahan dengan cepatnya laju penghisapan sumber daya alam di daerah-daerah.

Harap diingat, daerah-daerah yang tradisional selalu memiliki kearifan lokal untuk melestarikan alam. Pemusatan kekuasaan dan pola ekonomi pasar yang kapitalistik saja, yang diduga kuat mempercepat laju penghisapan sumber daya alam di daerah-daerah, yang kemudian dibawa pergi untuk kesejahteraan orang-orang pusat dan orang-orang asing yang enak-enakan di luar negeri sana.

Siapapun presidennya, seprogresif apapun ia, sebaik apapun ia, setaat hukum apapun ia, laju penghisapan kekayaan alam di daerah-daerah dan ketimpangan pembagiannya yang sangat tidak adil, akan terus berlangsung. Karena pola kerja eksekutif dan legislatif telah terkoridor oleh konstitusi UUD 1945 yang sentralistik. Presiden tidak bisa apa-apa kecuali melaksanakan konstitusi sentralistik itu, yang diseting bahwa sisa-sisa kekuasaan untuk daerah-daerah.

Kata kuncinya adalah, bangsa ini sebaiknya membuka kembali wacana negara federal dengan mengamandemen atau bahkan merubah sama sekali konstitusi. Percikan wacana beberapa tokoh bangsa terdahulu dan masa kini, dari Bung Hatta dan Bung Natsir sampai HM Amien Rais, tidak salah jika dihidupkan kembali.

Tentu saja, masih sangat banyak pakar hukum tata negara yang berpandangan bahwa bentuk negara, yang antara lain tersurat dalam Pembukaan UUD 1945, tidak bisa diubah. Ini jelas pandangan yang tidak berlandas pada logika akal sehat.

Bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak bisa diubah atau jika merubahnya sama dengan membubarkan negara, tidak lebih adalah dogma. Tidak ada yang tidak bisa diubah di dunia ini, termasuk konstitusi. Tarohlah negara bubar, 'kan bisa dirumuskan kembali bentuknya.  Ahai!

Pandangan “negara bubar” tersebut tidak lebih hanyalah relevan dalam konteks rumusan tertulis, itupun hanya sesaat jika bentuk negara segera diubah dan segera dirumuskan dalam konstitusi-tertulis yang baru. Sedangkan realitas negara, negara dalam kenyataan, sesungguhnya tidaklah otomatis bubar; tidak otomatis unsur-unsur pembentuk negara dalam kenyataan seperti wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat dan pengakuan dunia internasional, otomatis bubar/dicabut pula. Tidak sesimpel itu.

Okelah jika bicara fakta. Bukankah adalah fakta bahwa Nusantara dahulunya tidak bersatu dalam bentuk negara kesatuan seperti saat ini. Melainkan terpisah-pisah: Andalas, Malaka, Tanah Jawa, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Tidak ada ikatan kesatuan. Lah, mengapa hal yang sama tidak dipertahankan saja, dalam bentuk negara federal? Lebih alami dan berbasis historis, bukan?[]

[] Penulis, Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang. Artikel ini telah dimuat di hari Padang Ekspres, Senin, 22 Nopember 2010.




Senin, 01 November 2010

Membongkar Bunker Koruptor

Oleh SUTOMO

Setelah parpol dan DPR, kini giliran pengadilan umum dikritik sebagai tempat berlindung atau bunker koruptor. Adalah Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis kajian yang dikeluarkan Minggu (5/9), memperlihatkan bahwa periode Januari 2010 hingga Juli 2010 sebanyak 54,82 persen terdakwa kasus korupsi dibebaskan oleh pengadilan umum.

Kecaman pun tertuju pada pengadilan umum dalam segala tingkatan, mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung. Sampai-sampai Mahkamah Agung diberitakan bereaksi dengan akan membuat pedoman pemidanaan sebagai acuan para hakim di seluruh Indonesia dalam menjatuhkan hukuman (Kompas, 7/9).

Jika pedoman pemidanaan tersebut jadi dikeluarkan, disebarluaskan, dan dijadikan acuan, maka independensi hakim dalam memutus suatu perkara terancam terdistorsi. Hakim tidak lagi bertanggung jawab pada hukum dan Tuhan melainkan terdistorsi bertanggung jawab pada Mahkamah Agung, pada atasannya secara administratif.

Kelihatannya, para petinggi MA mulai terpengaruh tekanan publik. Maunya publik, semua terdakwa korupsi dihukum berat. Tidak boleh dihukum ringan. Apalagi dibebaskan.

Rujukan publik selalu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Yang dikatakan tidak pernah sekalipun membebaskan terdakwa korupsi. Harusnya, pengadilan umum mencontoh kinerja Pengadilan Tipikor ini.

Logika publik tidak harus sejalan dengan logika hukum. Menurut logika hukum, pengadilan tempat mengadili dan bukan tempat menghukum orang. Jika perbuatan terdakwa terbukti, ya, dihukum. Sebaliknya, jika perbuatan yang didakwakan tidak terbukti atau bukan merupakan tindak pidana, terdakwa dibebaskan. Proses ini bersifat terbuka untuk umum sehingga bebas dipantau dan dinilai oleh publik.

Andai kata semua terdakwa kasus korupsi harus dihukum (sama sekali tidak boleh dibebaskan), maka logikanya, tidak diperlukan lagi proses persidangan di pengadilan. Langsung saja setiap orang yang dicurigai korupsi ditangkap lalu dijebloskan ke penjara, tidak perlu ada pembelaan, tidak perlu ada pengadilan. Semua sangkaan dianggap terbukti. Mirip pengadilan massa terhadap Socrates (470-399 SM) atau pengadilan gereja Katolik terhadap Galileo Galilei (1564-1642).

Hanya saja, memang, kesenjangan pemidanaan antara pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor tersebut patutlah dicermati. Ada beberapa kemungkinan, pertama, sistem penuntutan di Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai hulu Pengadilan Tipikor, sangat ketat dan relatif terbebas dari motif uang atau motif politik.

Sementara, pada sistem penuntutan di kejaksaan, diduga kuat acap disusupi motif diluar hukum, yaitu motif kejar target, motif uang/pemerasan, motif politik, yaitu dijadikan alat oleh lawan politik tersangka/terdakwa untuk menaikkan posisi tawar politik. Akibatnya, banyak kasus prematur dipaksakan masuk pengadilan, ujung-ujungnya terdakwa dibebaskan hakim.

Kedua, kemungkinan mengapa vonis terdakwa korupsi di pengadilan umum relatif rendah dibandingkan Pengadilan Tipikor adalah, karena, perbedaan kharakter perkara yang masuk di kedua jenis pengadilan ini. Pada pengadilan umum, semua perkara masuk, baik kasus besar maupun kecil (dari segi kerugian negara dan perhatian masyarakat). Sedangkan pada Pengadilan Tipikor, hanya kasus besar atau menarik perhatian masyarakat saja yang disidangkan. Sehingga vonis terdakwa korupsi di Pengadilan Tipikor lebih tinggi.

Kata kuncinya adalah, jika sistem peradilan pidana yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, advokat, dan pengadilan belum terbebas dari mafia hukum, maka selama itu pula keluaran dari sistem peradilan pidana tersebut cenderung akan selalu dicurigai publik. Jangan bermimpi memberantas korupsi sebelum bunker mafia hukum dibongkar lebih dahulu. Bongkar dulu korupsi di internal sistem peradilan, baru usut korupsi orang lain.(*)