Senin, 27 September 2010

Markus Kelas Teri

Oleh SUTOMO


Ada satu asas (maxim) dalam dunia makelar kasus (markus). Yakni, bahwa markus kelas teri akan akan memangsa tangkapan yang kecil-kecil. Sebaliknya, markus kelas kakap (big fish) akan memangsa tangkapan kelas kakap juga. Namun, keduanya, semata soal ukuran tangkapan. Sedangkan soal dampak, sama merusaknya.


Kasus markus di Indramayu dimana keluarga Kadana sampai tinggal di kandang kambing karena semua harta ludes terjual akibat diperas oknum aparat, adalah contoh kelakuan markus kelas teri. Dalam kasus ini, korban harus merogoh kocek total Rp14,3 juta dari hasil menjual harta pribadi dan ngutang ke sana kemari untuk kemudian diserahkan kepada oknum polisi, jaksa dan petugas lembaga pemasyarakatan.

Kasus Gayus Tambunan yang menyeret berbagai petinggi di Mabes Polri, Kejaksaan, dan Ditjen Pajak, adalah satu contoh markus kelas kakap. Yang menyikat Rp28 miliar, bahkan disebut-sebut ratusan miliar tersimpan di rekening Gayus di luar negeri.

Bagaimana perlakuan publik terhadap kedua jenis markus ini? Ada kecenderungan sekarang perhatian publik dan petinggi di negeri ini hanya tersedot pada markus kelas kakap seperti Gayus Cs. Lihatlah, melalui pemberitaan media massa, perhatian publik sungguh luar biasa dan berlangsung lama.

Berbeda dengan kasus-kasus markus kelas teri dengan korban buruh tani seperti Kadana. Pemberitaan dan perhatian publik tidak begitu gencar dan biasanya tidak akan berlangsung lama. Lalu, hilang begitu saja dari orbit pemberitaan. Mungkin karena kurang sensasional.

Sekalipun dampak kelakuan markus kelas teri dan kelas kakap itu sama saja merusaknya, akan tetapi penzaliman luar biasa justru lebih berat dialami oleh para korban markus kelas teri, yaitu mayoritas rakyat Indonesia dengan ekonomi menengah ke bawah dan rata-rata buta hukum namun terpaksa berurusan dengan hukum.

Para markus kelas teri ini bergentayangan di polsek, polres, polresta, kejari, pengadilan negeri, advokat, rumah tahanan negara (Rutan), lembaga pemasyarakatan (LP) di seantero negeri. Jika aparat polisi, pangkatnya tidak tinggi. Biasanya Iptu, Ipda, Briptu, dan Bripda. Dengan jabatan sebagai penyidik atau penyidik pembantu.

Karena di kota-kota kecil dengan perkara yang juga relatif kecil, tangkapan para markus kelas teri ini adalah para pedagang kaki lima, buruh, pegawai kecil, pengangguran, dan sekali-kali pengusaha kecil atau pegawai berjabatan tanggung.

Dari segi bahasa tubuh, gerak-gerik, dan pilihan katanya, para markus kelas teri gampang sekali dikenali. Sekelebatan langsung nampak sangat menyebalkan dan tidak bermutu. Dikit-dikit menggosokan ibu jari dengan jari telunjuk. Atau bercuap-cuap gajinya kecil, tugas berat, dan minim biaya operasional. Lain waktu mengatakan kertas kurang, printer rusak, dan sterusnya. Kesemuanya artinya sama. Minta duit. Main peras jika tidak sukarela diberi.

Ciri khas wajah para markus kelas teri ini, seperti pernah saya tulis di harian ini (Wajah Penegak Hukum, 3/2/2006), juga gampang dikenali. Kusam. Tiada aura di wajahnya. Ini karena otaknya jarang digunakan. Ditambah perasaan bersalah pada keluarga dan berdosa pada Tuhan.

Kesimpulannya sederhana. Para markus kelas teri ini selain sangat menyebalkan para pencari keadilan, dampak perbuatan mereka juga sangat masif dan merusak bangsa ini dan, tentu saja, merusak citra institusi. Karena itu, kita tunggu petinggi penegak hukum di seluruh Indonesia membersihkan para sampah-sampah dunia hukum ini. Lalu perhatikan, masuk ke tong sampah mana mereka.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat di harian SINGGALANG, 12 April 2010.

“Whistleblower” Masuk Karung

Oleh SUTOMO


Andai penulis melihat praktik korupsi saat ini, entah di instansi lain atau di institusi sendiri, rasanya berpikir seribu kali sebelum melaporkannya ke penegak hukum. Bahkan, setelah berpikir seribu kali pun, bisa jadi akhirnya urung melapor. Mengapa?


Hitungannya harus cermat betul sebelum melaporkan kasus korupsi orang lain. Karena bisa-bisa justru jadi target. Alih-alih terlapor yang masuk penjara, eh, malah diri sendiri sebagai pelapor yang jadi bulan-bulanan dan masuk penjara duluan. Lihatlah kasus Susno Duadji.

Tulisan ini bermaksud ikut menyuarakan kegelisahan publik perihal betapa rawannya arah pemberantasan korupsi di negeri ini pada masa mendatang. Oleh karena para pemukul kentongan atau peniup peluit (whistleblower), yang melaporkan kasus korupsi di institusinya, sama sekali tidak mendapat perlindungan hukum secara berarti.

Bahkan, perlindungan saksi dan pelapor yang digadang-gadang oleh UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam praktik, ternyata nonsen. Khususnya ketika berhadapan dengan cabang kekuasaan lain, semisal polisi.

Kurang apa Susno Duaji. Ia seorang jenderal polisi berbintang tiga berpangkat Komisaris Jenderal Polisi, mantan Kabareskrim, dan jaringannya luas. Tapi yang terjadi ia justru meringkuk di dalam jeruji besi setelah melaporkan indikasi mafia hukum di institusinya sendiri. Mengutip Saldi Isra (Kompas, 3/6/2010), ia dulu dijerat kasus A, sekarang B dan C. Tapi itu semua permainan saja.

Kasus Susno ini benar-benar edan. Bayangkan saja. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang berkualitas “katanya”, yaitu keterangan para saksi yang tidak bersesuaian satu sama lain. Dan, tanpa barang bukti langsung, misalnya uang yang konon diterima Susno itu. Sehingga wajar saja jika sekarang berkas perkara Susno dikembalikan lagi oleh jaksa penuntut umum ke penyidik.

Terkait hal ini, beberapa saat setelah ditahan, Susno mengirim pesan singkat ke detikcom. Dikatakannya bahwa keterangan saksi-saksi tersebut sangat lemah, karena satu sama lain tidak memiliki korelasi yang jelas. Tak ada satu orang pun yang menyaksikan langsung bahwa Sjahrir Djohan memberikan sejumlah uang kepada dirinya. Haposan katanya dimintai uang oleh Sjahrir Djohan, saksi Samsurizal hanya dipameri bungkusan oleh Sjahrir Djohan, dan Syamsurizal ini tidak pernah sama sekali tahu atau melihat apa isi bungkusan itu.

Jika demikian halnya, lanjut Susno, andai dirinya mengatakan bahwa uang tersebut adalah permintaan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD). Selanjutnya Susno mengajukan 10 atau 100 orang saksi, mulai dari yang membungkus uang, memasukan ke dalam tas, sopir mobil yang mengantar Susno ke rumah BHD, ajudan Susno yang mendampinginya dan lain-lain sehingga keterangan saksi tersebut satu sama lain nampak “bersesuaian”.

Dengan demikian, masih menurut Susno, apakah BHD lantas juga dijadikan tersangka, kemudian ditangkap dan ditahan? Selanjutnya BHD protes, maka cukup dijawab dengan penyidik sangat yakin terbukti. Kalau tidak puas, silakan gugat praperadilan atau menunggu putusan pengadilan. Celaka kan? Ini jelas tuduhan rekayasa. Demikian tulis Susno.

Penulis membayangkan putusan praperadilan akan memenangkan Susno, terutama karena bukti permulaan sebagai dasar penangkapan dan penahanan sangat tidak cukup dan berkualitas. Sehingga arah pemberantasan korupsi menjadi terang dan memancarkan sinar harapan. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang, hakim praperadilan berlogika hukum kuantitatif. Dan Susno pun dikalahkan. Hakim hanya menimbang cukup dengan satu laporan ditambah saksi, dan tidak mau menilai lebih jauh kualitas para saksi, lantas dikatakan proses hukum sudah prosedural (sudah cukup bukti).

Dengan logika hukum demikian, jika penulis mengarang cerita lalu melaporkan si Anu bin Fulan, kemudian penulis bawa saksi agak tiga orang, maka si Anu bin Fulan harus ditangkap dan ditahan. Alasannya, sudah prosedural karena ada laporan ditambah saksi-saksi. Begitukah hukum yang berkeadilan? Sedangkan setiap tindakan pro justitia selalu diberi irah-irah ‘untuk keadilan’ di pojok kiri atas surat-suratnya.

Pasca putusan praperadilan yang mengecewakan itu, banyak pihak akhirnya tinggal berharap pada taji Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan mampu melindungi Susno sehingga Susno bisa leluasa mengungkap para bajingan sampah hukum di institusinya. Namun, sekali lagi, publik dikecewakan. LPSK dicueki. Mabes Polri berkeras Susno tetap dalam tahanan polisi karena Susno berstatus tersangka dan bukan saksi sesuai ruang lingkup perlindungan UU No 13/2006.

Mengapa perihal lemahnya perlindungan peniup peluit mengkhawatirkan dan menggusarkan kita adalah karena, umumnya, logika masyarakat demikian adanya. Suka membanding-bandingkan. Ditambah bahwa ‘teriakan’ dari kasus Susno ini sangat nyaring; sangat luas spektrum pemberitaan oleh berbagai media massa baik cektak maupun elektronik. Wajar jika bernilai kampanye buruk luar biasa bagi para (calon) peniup peluit kasus korupsi.

Orang-orang yang mengikuti informasi akan sangat logis jika merasa takut melaporkan kasus korupsi. Warga kebanyakan yang tidak berpangkat dan tidak terkenal kalau berani-beraninya melaporkan kasus korupsi orang yang berkuasa, ya, pasti dikarungi.

Sebaliknya, jika berpikir sedikit ideologis, agak mendasar, mau jadi martir mungkin, balas dendam, atau apapun motifnya, bolehlah tetap berani melaporkan kasus korupsi. Dengan harapan, seiring waktu, penegak hukum berubah dan berani menggunakan diskresinya dengan benar.
Penegak hukum, seperti polisi, memiliki kewenangan diskresi untuk meneruskan atau menghentikan suatu kasus. Dengan kewenangan diskresi ini, polisi bisa saja menghentikan atau menunda dulu setiap laporan dan proses hukum terhadap peniup peliut kasus korupsi. Lantas mendahulukan kasus yang dilaporkan peniup peluit.

Dengan penggunaan diskresi secara akuntabel berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), kelemahan UU No 13/2006 yang tidak melindungi saksi yang sekaligus berstatus tersangka, dapat ditepis. Dalam konteks ini, terlihat bahwa faktor utama mutu penegakan hukum tetap di tangan manusianya (para penegak hukum). Di tangan penegak hukum yang beritikad baik, aturan yang buruk pun bisa mendatangkan kemaslahatan umum.

Jika aparat enggan menggunakan diskresi tersebut, ke depan, orang pasti akan takut melaporkan kasus korupsi. Itu pasti. Di negeri para mafia, orang cenderung berpikir praktis-praktis saja. Lihatlah, bukankah sudah lama KPK tidak menangkap basah pelaku korupsi kelas kakap?(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Senin, 7 Juni 2010
Malapraktik Profesi Hukum
 
Oleh SUTOMO

Mengapa jika jaksa yang diperiksa polisi harus izin Jaksa Agung, contohnya jaksa kasus Gayus Halomoan Tambunan. Sedangkan advokat bisa langsung ditangkap dan ditahan tanpa izin Ketua Peradi, contohnya advokat Manatap Ambarita. Padahal, advokat dan jaksa keduanya sama-sama berstatus sebagai penegak hukum.


Tulisan ini bermaksud menyoal perbedaan perlakuan tersebut di atas dalam pespektif hukum. Sekaligus mendorong penegakan hukum dan kode etik terhadap malapraktik profesi hukum.

Paradoks advokat

Advokat atau pengacara diberi status oleh undang-undang sebagai penegak hukum, sama dan sederajat dengan polisi, jaksa dan hakim. Pasal 5 ayat (1) UU No. 18/2003 tentang Advokat menyatakan, advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Sejalan dengan itu, putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No.014/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), wadah tunggal advokat Indonesia, merupakan organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara.

Persoalan praktisnya adalah, penegak hukum seperti apa? Karena di satu sisi advokat berstatus penegak hukum. Namun, pada sisi lain, advokat tidak punya kewenangan memaksa selayaknya penegak hukum, seperti polisi dan jaksa, yang bisa menangkap, menahan, menggeledah dan seterusnya. Karena itu, status penegak hukum yang disandang advokat mau tak mau hanya bisa dimaknai sesuai fungsinya sebagai kuasa hukum atau penasehat hukum klien dalam kerangka sistem negara hukum.

Berbeda halnya dengan advokat. Jaksa punya kewenangan merampas kemerdekaan orang, juga sekaligus dilindungi undang-undang dalam melaksanakan tugasnya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sebelum memeriksa jaksa Poltak Manulang, Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka Kurnia, dan Ika Safitri, kepolisian harus mendapat izin Jaksa Agung terlebih dahulu. Hal ini didasarkan pada Pasal 8 ayat (5) UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan.

Sedangkan advokat bisa langsung ditangkap dan ditahan kapan pun tanpa harus izin Ketua Peradi. Pasal 16 UU Advokat hanya memberi hak imunitas profesi dalam sidang pengadilan (!). Setidaknya demikian tafsir jaksa, polisi dan hakim dalam kasus advokat Manatap Ambarita tahun 2008 yang lalu di PN Padang.

Dikatakan menurut tafsir polisi dan jaksa karena Pasal 16 UU Advokat tersebut memang multitafsir. Pasal 16 UU Advokat selengkapnya menyatakan, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” Adanya frasa ‘dalam sidang pengadilan’ membuat pasal ini menjadi multitafsir, bila dihubungkan dengan pasal lain dalam UU Advokat.

Malapraktik profesi

Menurut penulis, frasa kunci pasal di atas adalah ‘menjalankan tugas profesi’ dan bukan ‘dalam sidang pengadilan’. Tidak hanya advokat. Siapa pun yang sedang menjalankan tugas profesi dengan itikad baik, apakah jaksa, polisi, hakim, notaris, dokter, wartawan, dan lain-lain, tidak dapat dituntut secara hukum. Terlebih lagi dituntut secara hukum pidana. Bagaimana rasionalnya?

Hal ini ada kaitannya dengan subjek tindak pidana. Secara umum, subjek tindak pidana adalah orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan korporasi (korporatie). Artinya, hanya perbuatan (handeling) orang perseorangan dan korporasi yang dapat dinilai dalam hukum pidana.

Dengan demikian, idiom “setiap orang” atau “barangsiapa” dalam perumusan pasal-pasal pidana, berarti “siapa saja” orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan korporasi (korporatie). Artinya, sasaran dari norma undang-undang (addressaat norm) tentang tindak pidana adalah “perbuatan” (handeling) orang perseorangan dan “perbuatan” (handeling) untuk dan atas nama korporasi. Bukan “perbuatan” (handeling) dalam kapasitas jabatan atau “perbuatan” (handeling) dalam kapasitas profesi.

Jika konteksnya melaksanakan tugas jabatan (misalnya gubernur, bupati dan lain-lain) maka tanggung gugatnya tunduk pada kaidah hukum administrasi negara. Bukan pidana. Karena jabatan tidak bisa dipenjara. Sementara, jika konteksnya menjalankan tugas profesi, maka tanggung gugatnya tunduk pada kaidah kode etik profesi.

Dalam praktik sering terbalik. Menerima suap dibilang bukan korupsi karena tidak merugikan negara. Seperti pembelaan hakim Muhtadi Asnun, yang merasa tidak korupsi karena uang suap digunakan untuk umroh. Di sini, menerima suap (pidana) jelas bukan tugas dari suatu jabatan. Jadi, rumusnya, setiap pelanggaran hukum pasti melanggar kode etik, sebaliknya tidak setiap pelanggaran kode etik berimplikasi hukum

Maka, ada benarnya mana kala Mahkamah Agung belum langsung memberi sanksi kode etik kepada hakim Asnun, melainkan menunggu putusan pidana terhadapnya berkekuatan hukum tetap.

Sampai di sini persoalannya adalah, siapa yang berhak menilai bahwa seseorang harus bertanggung jawab secara hukum atau harus bertanggung jawab secara kode etik? Apakah yang bersangkutan atau polisi atau jaksa? Ini wilayah tafsir. Karena itu, apabila tidak ada nash yang jelas dan tegas dalam undang-undang, pemutus akhirnya harus diserahkan pada hakim di pengadilan.

Dalam kaitan ini, jika hak imunitas profesi dirumuskan dengan jelas dan terang dalam undang-undang, tidak perlu lagi ada wartawan masuk penjara karena tulisannya, advokat dibui karena pilihan trik advokasinya, dokter dipenjarakan karena teknis pilihan tindakan medisnya, dan seterusnya. Jadi, tidak dikit-dikit dibawa ke proses hukum, lantas berkata biar hakim yang memutuskan.

Kebebasan profesi harus dilindungi undang-undang. Pada saat yang sama penegakan hukum dan kode etik juga perlu ditegakan terhadap setiap malapraktik profes hukum. Sebab, kalau tidak, tertib bernegara bisa terganggu. Coba saja kalau polisi mogok bertugas agak seminggu. Bisa-bisa terjadi huru-hara nasional.

Kalau advokat mogok mungkin yang paling hepi adalah oknum polisi dan jaksa yang berparadigma advokat sebagai musuh. Terlihat antara lain bermuka masam saat berurusan dengan advokat atau pura-pura ramah tapi kasak-kusuk di belakang. Bukan begitu sanak?(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres (JPNN), Selasa, 15 Juni 2010.
Stempel Koruptor

Oleh SUTOMO

Sebanyak 33 orang anggota DPRD Propinsi Sumbar periode 1999-2004 dinyatakan tidak terbukti korupsi dan dibebaskan hakim pada tingkat Mahkamah Agung. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga, jangan buru-buru menuduh orang korupsi sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.


Jika tuduhan korupsi itu kemudian tidak terbukti, maka hukumnya fitnah dan diancam pidana empat tahun penjara (vide Pasal 311, 317, 318, 319 KUHP). Dalam kaitan ini, pihak yang merasa difitnah berhak menuntut secara hukum, baik secara pidana berdasarkan pasal-pasal tersebut, maupun dengan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum.

Dalam kejadian di atas, hanya kebesaran hati dan kelapangan jiwa saja, mungkin, yang membuat keluarga korban yang difitnah, tidak atau belum menuntut secara hukum.

Akan tetapi, tidak ada tuntutan hukum dari keluarga korban fitnah tersebut justru melahirkan konsekuensi moral yang luar biasa. Yaitu, mana kala keluarga korban ikhlas menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Ini lebih gawat. Dunia akherat pertanggungjawabannya.

Secara moralitas agama, dikatakan bahwa fitnah lebih keji dari pembunuhan. Orang yang memfitnah sama dengan memakan bangkai saudaranya sendiri. Bayangkan itu.

Apa yang diutarakan di atas adalah rasional atau logika kongkrit bagaimana asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocent) itu bekerja. Bahwa seseorang wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Asas ini bukan jargon kosong. Jadi, jangan dianggap enteng.

Boleh memberi stempel koruptor. Tapi hanya pada orang yang telah divonis hakim terbukti korupsi dan vonis hakim itu telah berkekuatan hukum tetap. Stempel koruptor itu pun tidak berlaku sepanjang hayat melainkan hanya sepanjang rentang waktu yang bersangkutan menjalani pidana. Ketika pidana sudah selesai dijalani, stempel koruptor harus dicabut. Karena terpidana sudah selesai menjalani hukumannya, sudah menebus kesalahannya, harmoni sudah kembali seimbang.

Ada kecenderungan sekarang, terutama aktivis antikorupsi seperti Saldi Isra dan Febri Diansyah dari ICW, gemar sekali memberi cap koruptor pada seseorang yang belum tentu bersalah. Lihatlah, opini Saldi Isra yang “mengadili” Ketua DPR RI Marzuki Alie sebagai mantan tersangka korupsi (kasusnya sudah di-SP3-kan) sewaktu menjabat Direktur PT Semen Baturaja (Kompas, 5/7/2010). Kontan tuduhan Saldi tersebut dibantah Marzuki Alie dengan menyebutnya sebagai pencemaran nama baik dan menyalahi prinsip dan etika kecendikiawanan (Kompas, 6/7/2010).

Dalam kejadian lain, Saldi menanggapi banyaknya advokat yang menangani kasus korupsi mendaftar menjadi calon pimpinan KPK, dengan pernyataan yang insinuatif dan menggeneralisasi, bahwa setiap advokat yang pernah menangani kasus korupsi otomatis bermasalah. "Pengacara yang pernah mendampingi koruptor, saksi ahli yang meringankan koruptor itu bermasalah. Sebab masih ada pengacara lain yang tidak mau mendampingi kasus korupsi," tandas Saldi sebagaimana dikutip detiknewscom. Logika guru besar hukum dari Fakultas Hukun Universitas Andalas ini seperti bukan logika sarjana hukum saja.

Hup, jangan lupa. 33 orang anggota DPRD Sumbar di atas diproses hukum dengan sangkaan korupsi dan dijebloskan ke tahanan, antara lain, juga karena desakan dan dorongan Saldi Isra dan kawan-kawan dari Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB). Nyatanya, tuduhan Saldi dan kawan-kawan kemudian tidak terbukti secara hukum dan terdakwa dinyatakan tidak bersalah serta dibebaskan. Inilah dosa sosial dan intelektual Saldi Isra. Tanpa berarti kita mengecilkan sumbangsih Saldi Isra pada ranah keilmuan dan pada bangsa ini.

Ironis sekali. Saldi Isra, awalnya, mendapat popularitas dan memperoleh “jembatan” ke pentas nasional gara-gara kasus DPRD Sumbar tersebut, dengan jargon yang sangat terkenal pada waktu itu: “korupsi berjamaah”. Tragisnya, beberapa diantara anggota dewan tersebut bahkan meninggal dunia pada waktu proses hukum sedang berjalan.

Soal argumen bahwa putusan hakim bukan berarti membenarkan anggota dewan bisa menetapkan anggaran melebihi rerata kehidupan rakyat Indonesia, tidak ada kepekaan terhadap krisis, hanyalah benar dari sudut pandang kepatutan (fatsoen). Tidak otomatis melanggar hukum positif. Karena hukum memang membolehkan penetapan angggaran itu. Andai pun itu dianggap korupsi, sama artinya presiden, menteri, pegawai BUMN yang bergaji besar di atas rerata penghasilan rakyat Indonesia, juga korupsi. Ini jelas tidak benar dan sesat pikir.

Terakhir. Tulisan ini hendak mengatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, seperti dilakukan aktivis seperti Saldi Isra dan kawan-kawan, perlu diletakkan dalam koridor hukum yang benar dan akuntabel. Sebab, jika tidak, potensial menzalimi orang, sekaligus rawan ditunggangi petualang politik atau kepentingan cari popularitas untuk berbagai tujuan pragmatis. (*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Artikel ini telah dimuat Harian Independen SINGGALANG, 8 Juli 2010.
Pengkritik Kok Disuruh Cari Solusi

Oleh SUTOMO

GELI sekali membaca artikel di halaman satu harian SINGGALANG (terbit di Padang, Sumbar) bertajuk "Kaum Terdidik Mencaci Bangsa Sendiri" (19/8). Bagaimana seorang psikolog dari RSJ HB Sa’anin (Kuswardani Susari Putri) dan sosilog dari Unand (Prof Damsar) menanggapi kecenderungan beberapa kaum terdidik yang suka mencaci maki bangsa sendiri. Antara lain disebutkan kecenderungan tidak senang melihat figur berhasil, suka mengkritik, tapi tidak ada solusi yang diberikan. 


Senang atau tidak senang terhadap keberhasilan seorang figur mencapai suatu posisi penting, seperti di pemerintahan, memang subjektif sifatnya. Jika tidak senang patutlah dipertanyakan apa motifnya. Menjadi masalah jika diekspresikan dengan mencaci maki, apalagi membuat pernyataan yang bernada insinuatif.

Tulisan ini mencoba memberi catatan kritis bahwa kritik itu wajib sebagai elemen penting demokrasi. Soal ada solusi atau tidak semata soal tafsir. Sebab, dibalik setiap kritik hakikatnya sudah tercantum solusi di dalamnya, tanpa harus diuraikan secara detail bagaimana solusi itu. Contoh, jika warga mengkritik pemerintah gagal mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok, artinya, solusinya simpel sekali—sudah ada dibalik pernyataan itu sendiri—yakni, kendalikan harga.

Tidak mesti disebutkan cara-cara detailnya seperti operasi pasar, mengendalikan laju inflasi, menstabilkan nilai tukar rupiah dan seterusnya dengan subrincian yang mendetail pula. Yang harus memikirkan semua itu adalah pemerintah dan pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Rakyat tinggal membayar pajak dan menikmati hasil kerja pemerintah. Jika kemudian hasil kerja pemerintah dinilai tidak memuaskan, adalah hak setiap warga negara untuk menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintah.

Bisa dimaklumi akan selalu ada pihak, terutama pemerintah, yang tidak habis mengerti mengapa ada saja orang yang kerjanya hanya mengkritik. Namun, sikap ‘antikritik’ begini jelas sebuah kesesatan logika berpikir.

Pemerintah tugasnya memang bekerja untuk rakyat—jangan berharap pujian. Peran pihak diluar pemerintah, salah satunya, mengingatkan (memberi kritikan). Coba, apa tidak rikuh jika orang yang diluar pemerintah tapi kerjanya hanya memuji-muji saja setiap hari? Ini kan tugasnya humas? Jangan dibalik-balik.

Ketika dikritik, malah menantang orang yang mengkritik untuk bekerja dan memberi solusi. Lah, bekerja melakukan tugas kepemerintahan itu kan tugasnya pemerintah yang telah dibiayai rakyat dengan pajak. Tugasnya orang di luar pemerintah menjalankan fungsinya masing-masing pula dengan baik.

Jika kalangan oposisi dan aktivis sudah menjalankan tugasnya dengan baik, misalnya, mengkritik penegakan hukum. Ini suatu aktivitas kerja juga. Karena mengkritik memang tugas dan fungsi oposisi dan aktivis.

Sama halnya dosen mengajar dengan baik, psikolog melayani pasiennya dengan profesional, penulis menggoreskan penanya, pedagang ikan mejajakan dagangannya—semua merupakan aktifitas kerja. Jangan dikira pemerintah saja yang bekerja. Bahkan, ada ujaran agak ekstrim, bahwa bagi kalangan dunia usaha, ada atau tidak ada pemerintah bisnis akan jalan terus.

Jadi, silahkan saja terus dikritik siapapun, terutama pemerintah. Soal solusi bagaimana pemerintah harus bekerja begini dan begana, itu tugasnya pemerintah memikirkannya, karena demikian mereka dibiayai oleh uang rakyat. Jangan pula rakyat dibebani harus memikirkannya.

Mirip dengan logika aparat penegak hukum ketika mendapat laporan masyarakat perihal adanya mafia hukum, seperti sering kita saksikan di media massa: silahkan buktikan oleh masyarakat maka akan kami tindak. Paradigmanya seperti dalam hukum perdata, siapa yang menuduh harus membuktikannya. Lah, mafia hukum merupakan tindak pidana, adalah tugas aparat hukum untuk membuktikannya, bukan tugas masyarakat pelapor. Masyarakat cukup melaporkan peristiwanya, aparat yang harus mencari buktinya (membuktikannya).(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang.
Menghapus Remisi Koruptor

Oleh SUTOMO

Pemberian remisi (pengurangan masa pidana) bisa saja dihapuskan. Syaratnya, tujuan pemidanaan dan konsep pemasyarakatan diubah dulu, dari pembinaan diubah menjadi balas dendam. Dalam konsep terakhir ini, tidak boleh ada remisi sekalipun terpidana berkelakuan baik selama dipenjara. Mungkinkah?

 

Sampai hari ini, pemasyarakatan bagi terpidana di Indonesia masih menggunakan konsep pembinaan. Dalam konsep ini, terpidana dibina supaya berubah menjadi lebih baik sebelum dibebaskan dan kembali ke tengah masyarakat. Karenanya, siapa pun terpidana yang telah menjalani masa pidana tertentu serta berhasil dibina sehingga berkelakuan baik, otomatis mendapat hadiah remisi.

Maka, setiap momen hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, para narapidana bersuka cita. Pada ultah Kemerdekaan RI ke-65 yang lalu, misalnya, beberapa terpidana kasus korupsi mendapat berkah, sebut saja besan SBY Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjudin. Keempatnya adalah mantan Diputi Gubernur Bank Indonesia. Aulia Pohan bahkan bisa langsung bebas bersyarat karena yang bersangkutan sudah menjalani dua pertiga dari masa pidananya.

Praktek remisi demikian telah berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya. Akan tetapi, tahun ini, tiba-tiba menuai pro dan kontra, terutama dikalangan aktivis dan KPK.

Diluar dugaan KPK ikut bersuara. Mengapa dikatakan diluar dugaan adalah karena KPK harusnya tidak dalam posisi menafsirkan peraturan perundang-undangan, melainkan melaksanakannya. Tak kurang Wakil Ketua KPK M Jasin mengecam pemberian remisi dan grasi kepada terpidana kasus korupsi.

Namun pemerintah tidak ada pilihan lain. Hal ini karena kata kunci dari remisi adalah hak, yaitu hak terpidana yang telah memenuhi syarat. Jika hak ini tidak diberikan, pemerintah dianggap telah merampas hak orang lain, dan ini bisa digugat dengan dasar perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheids daad), vide Pasal 1365 KUH Perdata.

Sebaliknya, dari sudut pandang negara, hak negara untuk menghukum terdakwa otomatis berakhir ketika terdakwa divonis hakim dan eksekusi telah dijalankan. Saat terpidana telah dieksekusi, telah dimaksukkan ke penjara, giliran hak terpidana muncul, dan kebalikannya merupakan kewajiban negara untuk memberikan hak itu.

Pasal 14 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa remisi merupakan hak terpidana. Yang teknis pengaturannya ditentukan lebih lanjut oleh PP No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Sesuai aturan di atas, terpidana berhak mendapatkan remisi jika telah memenuhi syarat (i) berkelakuan baik selama menjalani pidana dan (ii) telah menjalani minimal 6 (enam) bulan penjara (kejahatan biasa) atau 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana (kejahatan korupsi, teroris, pembalakan liar dan narkotika). Hanya dua jenis pidana yang tidak mungkin diberikan remisi, yakni penjara seumur hidup dan hukuman mati.

Dalam kaitan ini, andai kata hukum menggunakan asumsi atau prasangka buruk bahwa kelakuan baik terpidana hanyalah sandiwara belaka, maka tidak akan pernah ada remisi. Sama halnya, andai kata konsep pemidanaan kita adalah balas dendam, juga tidak akan pernah ada remisi.

Napi yang berkelakuan baik, taat aturan, rajin sholat, mengaji, ramah, rajin bekerja, menempah diri lahir batin jangan harap dapat pengurangan hukuman. Begitu pun sebaliknya, napi yang berkelakuan buruk, tidak taat aturan, suka berkelahi sesama napi, jual narkoba jalan terus, pemalas, tidak rajin bekerja, apalagi beribadah pun jangan harap dapat remisi. Keduanya sama saja. Tak ada bedanya. Karena pemidanaan adalah balas dendam.

Untunglah, sistem hukum pidana dan pemasyarakatan kita sejak dulu kala telah menetapkan bahwa tujuan penghukuman dan pemasyarakatan adalah pembinaan. Bukan balas dendam. Penghukuman dengan tujuan balas dendam tinggal sejarah tempo dulu, peninggalan abad kegelapan, jaman jahiliah.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat Harian Singgalang (hal. 1), Selasa, 24 Agustus 2010.