Senin, 01 November 2010

Membongkar Bunker Koruptor

Oleh SUTOMO

Setelah parpol dan DPR, kini giliran pengadilan umum dikritik sebagai tempat berlindung atau bunker koruptor. Adalah Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis kajian yang dikeluarkan Minggu (5/9), memperlihatkan bahwa periode Januari 2010 hingga Juli 2010 sebanyak 54,82 persen terdakwa kasus korupsi dibebaskan oleh pengadilan umum.

Kecaman pun tertuju pada pengadilan umum dalam segala tingkatan, mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung. Sampai-sampai Mahkamah Agung diberitakan bereaksi dengan akan membuat pedoman pemidanaan sebagai acuan para hakim di seluruh Indonesia dalam menjatuhkan hukuman (Kompas, 7/9).

Jika pedoman pemidanaan tersebut jadi dikeluarkan, disebarluaskan, dan dijadikan acuan, maka independensi hakim dalam memutus suatu perkara terancam terdistorsi. Hakim tidak lagi bertanggung jawab pada hukum dan Tuhan melainkan terdistorsi bertanggung jawab pada Mahkamah Agung, pada atasannya secara administratif.

Kelihatannya, para petinggi MA mulai terpengaruh tekanan publik. Maunya publik, semua terdakwa korupsi dihukum berat. Tidak boleh dihukum ringan. Apalagi dibebaskan.

Rujukan publik selalu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Yang dikatakan tidak pernah sekalipun membebaskan terdakwa korupsi. Harusnya, pengadilan umum mencontoh kinerja Pengadilan Tipikor ini.

Logika publik tidak harus sejalan dengan logika hukum. Menurut logika hukum, pengadilan tempat mengadili dan bukan tempat menghukum orang. Jika perbuatan terdakwa terbukti, ya, dihukum. Sebaliknya, jika perbuatan yang didakwakan tidak terbukti atau bukan merupakan tindak pidana, terdakwa dibebaskan. Proses ini bersifat terbuka untuk umum sehingga bebas dipantau dan dinilai oleh publik.

Andai kata semua terdakwa kasus korupsi harus dihukum (sama sekali tidak boleh dibebaskan), maka logikanya, tidak diperlukan lagi proses persidangan di pengadilan. Langsung saja setiap orang yang dicurigai korupsi ditangkap lalu dijebloskan ke penjara, tidak perlu ada pembelaan, tidak perlu ada pengadilan. Semua sangkaan dianggap terbukti. Mirip pengadilan massa terhadap Socrates (470-399 SM) atau pengadilan gereja Katolik terhadap Galileo Galilei (1564-1642).

Hanya saja, memang, kesenjangan pemidanaan antara pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor tersebut patutlah dicermati. Ada beberapa kemungkinan, pertama, sistem penuntutan di Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai hulu Pengadilan Tipikor, sangat ketat dan relatif terbebas dari motif uang atau motif politik.

Sementara, pada sistem penuntutan di kejaksaan, diduga kuat acap disusupi motif diluar hukum, yaitu motif kejar target, motif uang/pemerasan, motif politik, yaitu dijadikan alat oleh lawan politik tersangka/terdakwa untuk menaikkan posisi tawar politik. Akibatnya, banyak kasus prematur dipaksakan masuk pengadilan, ujung-ujungnya terdakwa dibebaskan hakim.

Kedua, kemungkinan mengapa vonis terdakwa korupsi di pengadilan umum relatif rendah dibandingkan Pengadilan Tipikor adalah, karena, perbedaan kharakter perkara yang masuk di kedua jenis pengadilan ini. Pada pengadilan umum, semua perkara masuk, baik kasus besar maupun kecil (dari segi kerugian negara dan perhatian masyarakat). Sedangkan pada Pengadilan Tipikor, hanya kasus besar atau menarik perhatian masyarakat saja yang disidangkan. Sehingga vonis terdakwa korupsi di Pengadilan Tipikor lebih tinggi.

Kata kuncinya adalah, jika sistem peradilan pidana yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, advokat, dan pengadilan belum terbebas dari mafia hukum, maka selama itu pula keluaran dari sistem peradilan pidana tersebut cenderung akan selalu dicurigai publik. Jangan bermimpi memberantas korupsi sebelum bunker mafia hukum dibongkar lebih dahulu. Bongkar dulu korupsi di internal sistem peradilan, baru usut korupsi orang lain.(*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar