Senin, 27 September 2010

Pengkritik Kok Disuruh Cari Solusi

Oleh SUTOMO

GELI sekali membaca artikel di halaman satu harian SINGGALANG (terbit di Padang, Sumbar) bertajuk "Kaum Terdidik Mencaci Bangsa Sendiri" (19/8). Bagaimana seorang psikolog dari RSJ HB Sa’anin (Kuswardani Susari Putri) dan sosilog dari Unand (Prof Damsar) menanggapi kecenderungan beberapa kaum terdidik yang suka mencaci maki bangsa sendiri. Antara lain disebutkan kecenderungan tidak senang melihat figur berhasil, suka mengkritik, tapi tidak ada solusi yang diberikan. 


Senang atau tidak senang terhadap keberhasilan seorang figur mencapai suatu posisi penting, seperti di pemerintahan, memang subjektif sifatnya. Jika tidak senang patutlah dipertanyakan apa motifnya. Menjadi masalah jika diekspresikan dengan mencaci maki, apalagi membuat pernyataan yang bernada insinuatif.

Tulisan ini mencoba memberi catatan kritis bahwa kritik itu wajib sebagai elemen penting demokrasi. Soal ada solusi atau tidak semata soal tafsir. Sebab, dibalik setiap kritik hakikatnya sudah tercantum solusi di dalamnya, tanpa harus diuraikan secara detail bagaimana solusi itu. Contoh, jika warga mengkritik pemerintah gagal mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok, artinya, solusinya simpel sekali—sudah ada dibalik pernyataan itu sendiri—yakni, kendalikan harga.

Tidak mesti disebutkan cara-cara detailnya seperti operasi pasar, mengendalikan laju inflasi, menstabilkan nilai tukar rupiah dan seterusnya dengan subrincian yang mendetail pula. Yang harus memikirkan semua itu adalah pemerintah dan pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Rakyat tinggal membayar pajak dan menikmati hasil kerja pemerintah. Jika kemudian hasil kerja pemerintah dinilai tidak memuaskan, adalah hak setiap warga negara untuk menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintah.

Bisa dimaklumi akan selalu ada pihak, terutama pemerintah, yang tidak habis mengerti mengapa ada saja orang yang kerjanya hanya mengkritik. Namun, sikap ‘antikritik’ begini jelas sebuah kesesatan logika berpikir.

Pemerintah tugasnya memang bekerja untuk rakyat—jangan berharap pujian. Peran pihak diluar pemerintah, salah satunya, mengingatkan (memberi kritikan). Coba, apa tidak rikuh jika orang yang diluar pemerintah tapi kerjanya hanya memuji-muji saja setiap hari? Ini kan tugasnya humas? Jangan dibalik-balik.

Ketika dikritik, malah menantang orang yang mengkritik untuk bekerja dan memberi solusi. Lah, bekerja melakukan tugas kepemerintahan itu kan tugasnya pemerintah yang telah dibiayai rakyat dengan pajak. Tugasnya orang di luar pemerintah menjalankan fungsinya masing-masing pula dengan baik.

Jika kalangan oposisi dan aktivis sudah menjalankan tugasnya dengan baik, misalnya, mengkritik penegakan hukum. Ini suatu aktivitas kerja juga. Karena mengkritik memang tugas dan fungsi oposisi dan aktivis.

Sama halnya dosen mengajar dengan baik, psikolog melayani pasiennya dengan profesional, penulis menggoreskan penanya, pedagang ikan mejajakan dagangannya—semua merupakan aktifitas kerja. Jangan dikira pemerintah saja yang bekerja. Bahkan, ada ujaran agak ekstrim, bahwa bagi kalangan dunia usaha, ada atau tidak ada pemerintah bisnis akan jalan terus.

Jadi, silahkan saja terus dikritik siapapun, terutama pemerintah. Soal solusi bagaimana pemerintah harus bekerja begini dan begana, itu tugasnya pemerintah memikirkannya, karena demikian mereka dibiayai oleh uang rakyat. Jangan pula rakyat dibebani harus memikirkannya.

Mirip dengan logika aparat penegak hukum ketika mendapat laporan masyarakat perihal adanya mafia hukum, seperti sering kita saksikan di media massa: silahkan buktikan oleh masyarakat maka akan kami tindak. Paradigmanya seperti dalam hukum perdata, siapa yang menuduh harus membuktikannya. Lah, mafia hukum merupakan tindak pidana, adalah tugas aparat hukum untuk membuktikannya, bukan tugas masyarakat pelapor. Masyarakat cukup melaporkan peristiwanya, aparat yang harus mencari buktinya (membuktikannya).(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar