Sabtu, 28 Januari 2012

Aku Tak Percaya Bank dan Asuransi!

Oleh Sutomo (*)

Dari sekian banyak instrumen ekonomi, bank dan asuransi adalah yang paling tak masuk akal. Bagaimana tidak, nasabah setor uang ke bank tapi malah bayar. Sedangkan uang itu dimanfaatkan bank habis-habisan untuk mengeruk keuntungan dengan menyalurkannya ke kredit yang bunganya mencekik, atau, jika malas mengucurkan kredit, uang nasabah tadi akan ditarok ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan bunga berlipat-lipat dibandingkan bunga yang diberikan pada nasabah penyimpan.

Sekedar gambaran betapa “merusaknya” bank itu, berikut ini adalah nasehat Warren Buffet, orang terkaya nomor dua di dunia saat ini: untuk meraih sukses dan kebebasan keuangan jauhilah pinjaman bank atau kartu kredit!

Maka, wajarlah jika di negara maju seperti Jepang membuat kebijakan bunga bank sangat rendahnya sehingga warga tidak menarok uangnya di bank melainkan menggunakan uangnya untuk bisnis riil.

Memang. Tidak semua produk perbankan itu jelek. Jasa penyimpanan (safe deposit box) bolehlah cukup membantu. Jasa simpanan dalam bentuk emas juka oke. Oh, ya, masih ada yang lain yang oke?

Sama tak masuk akalnya adalah asuransi. Bagaimana mungkin kita mengalihkan resiko pada asuransi dengan membayar premi (premi pasti harus dibayar) sedangkan resiko itu tidaklah pasti akan terjadi, tapi pembayaran premi pasti harus dilunasi. Jika resiko tidak terjadi dalam kurun tertentu masa tanggungan, premi dianggap hangus. Owww, tidak adil banget.

Mendingan uang digunakan untuk investasi riil, atau ditabung sendiri (bukan di bank, tapi dalam bentuk emas, sertifikat saham, dll). Saat resiko benar-benar terjadi, uang tadi bisa digunakan untuk mengatasi resiko tersebut.

Sesungguhnya, ada alasan lain mengapa aku tak suka asuransi dalam segala bentuk dan turunannya. Ya, karena tak tahan dengan prosedur birokrasinya. Ketika resiko benar-benar terjadi, harus siapkan bukti inilah, bukti itulah, fotocopy itulah, inilah, lalu menunggu. Harap-harap cemas permohonan dikabulkan pihak asuransi. Seolah-olah nasabah yang memohon dan meminta-minta. Dan asuransi adalah malaikat penolong. Padahal, duitnya duit nasabah!

Sore kemaren agen asuransi datang ke rumah. Baru duduk sudah kusampaikan pendirian di atas. Langsung deh agen itu ngacir. Ha ha ha ha!(*)

(*) Penulis advokat/praktisi hukum, tinggal di Padang

Rabu, 25 Januari 2012

Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" dalam Perkara Pidana

Oleh Sutomo (*)

Ini kisah nyata. Seorang hakim ketua terlihat tenang tanpa beban sedikit pun, hanya bisik-bisik sebentar dengan kedua hakim anggota di kiri dan kanannya, lalu berkata: "Ya, sudah, kami vonis saudara lima tahun, sama dengan tuntutan jaksa." Tok! Palu hakim diketok. 

Ketokan palu hakim tersebut hanya berjarak paling banter dua menit sesudah Jaksa Penuntut Umum membacakan surat tuntutannya. Artinya, majelis hakim tidak melakukan musyawarah dan mencantumkan pertimbangan putusan dalam buku putusan, kalaupun dibuat sudah pasti dibuat belakangan saja. Artinya pula, terdakwa tidak diberi waktu yang wajar untuk membela diri (terdakwa tanpa penasehat hukum), hanya diberi pertanyaan bernada formalitas (apakah terdakwa ada pembelaan?). Bayangkan, seseorang dirampas kemerdekaannya selama lima tahun, tanpa pertimbangan apapun mengapa terdakwa dihukum sampai lima tahun.

Saya sepontan tercengang. Waaaaaah, merampas kemerdekaan orang selama lima tahun, begitu saja.

Surat tuntutan perkara tersebut pun hanya dibacakan secepat kilat. Hanya amar tuntutan saja dibacakan. Tak sampai tiga menit selesai dibacakan. Selebihnya dianggap terbacakan. Serba cepat dan terburu-buru.

Kejadian serupa itu sekarang acap terjadi sejak di Pengadilan Negeri berdiri kamar baru bernama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Sejak berdiri Pengadilan Tipikor tersebut, Pengadilan Negeri bersangkutan diserbu perkara korupsi dari seluruh kabupaten dan kota seantero propinsi. Ditambah perkara pidana umum dan perdata (plus tambahan dari kabupaten sebelah yang belum ada pengadilannya), bisa dibayangkan berapa banyaknya perkara yang harus disidangkan tiap hari di pengadilan tersebut.

Jadilah suasana pengadilan mirip pasar. Riuh rendah. Orang-orang lalu lalang penuh sesak di lobi, kiri kanan gedung, di samping ruang sidang, dan di halaman parkir, bahkan di muka WC. Asap rokok mengepul di mana-mana. Suara lolongan anak kecil menjerit-jerit dan berlari-lari (padahal sudah ada pengumuman dilarang bawa anak kecil ke pengadilan).

Jadi jangan heran jika persidangan jadi serba terburu-buru. Nyaris semua dokumen perkara pidana atau perdata dianggap terbacakan. Memang, bisa saja tetap ngotot untuk dibacakan seluruhnya, tapi antusiasme nyaris tidak ada. Seperti tak sabar cepat selesai. Maklum, perkara lain sudah menunggu disidangkan pula.

Pertanyaan pada saksi-saksi dan terdakwa sangat bernada formalitas belaka. "Benar saudara pernah diperiksa di kepolisian? Apakah keterangan saudara dalam BAP benar?". Begitu saja. Pertanyaan lain hanya formalitas belaka. Tidak ada kelihatan upaya keras untuk menggali kebenaran materil, kebenaran yang sesunguh-sungguhnya sebagaimana terungkap di muka persidangan, yang digali dari keterangan saksi-saksi langsung di muka persidangan, keterangan terdakwa, kroscek dengan alat bukti surat, dan seterusnya.

Untuk perkara pidana keadaan di atas sangat memprihatinkan. Karena perkara harusnya menggali kebenaran materil. Tapi yang terjadi, sejak tumpukan perkara pasca berdirinya Pengadilan Tipikor, kebenaran formil yang lebih mengemuka diungkap dalam persidangan perkara pidana. Yakni, kebenaran sejauh yang tertulis dalam BAP tingkat penyidikan dan surat dakwaan saja.

Suasana kebatinan yang terasa di lingkungan pengadilan adalah, ya, sudah semua terdakwa perkara korupsi pokoknya harus dihukum. Bersalah tak bersalah pokoknya terdakwa harus dihukum. Terbukti tak terbukti dakwaan pokoknya terdakwa harus dihukum. Pidana atau perdata fakta hukum yang terungkap di persidangan, sama saja, terdakwa harus tetap dihukum.

Kalaupun terdakwa harus bebas, biarlah itu urusan hakim di Pengadilan Tinggi. Lihatlah. Jelas sekali cari aman. Semua demi karir dan popularitas. Bukan demi hukum dan keadilan. "Lembaga pengadilan" dalam kenyataannya berpotensi terdegradasi menjadi "lembaga penghukuman".(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang