Rabu, 23 November 2011

Ilusi Ganti Rugi Korupsi


Oleh Sutomo (*)
Eksekusi ganti rugi dalam kasus korupsi banyak ditemui tak beres! Acap terjadi disebabkan unsur "memperoleh" dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai dasar hukum ganti rugi pidana uang pengganti tidak tergambar uraiannya dalam surat dakwaan, sehingga tak terelaborasi pembuktiannya di persidangan, otomatis juga dalam surat tuntutan. Lucunya, tetap banyak yang dikabulkan hakim. Nah, pas mau eksekusi, baru kelabakan harta yang mana yang mau dieksekusi.
Harta terpidana yang dieksekusi tersebut haruslah harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Objeknya harus jelas dan tertentu.
Dengan kejadian serupa itu jangan heran jika pemberantasan korupsi baru sebatas menghukum orang. Tapi gagal memulihkan kerugian keuangan negara.

Pemaksaan eksekusi pada objek yang tak jelas dan tertentu mengakibatkan terpidana merasa dihukum dua kali. Manakala hartanya yang bukan berasal dari tindak pidana korupsi dicoba diutak-atik jaksa eksekutor. Tindakan eksekutor mana, jika tetap dipaksakan, tak pelak berpotensi sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheids daad), vide Pasal 1365 KUH Perdata. Terpidana dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dengan dasar hukum Pasal 1365 KUH Perdata tersebut.  

Kegagalan eksekusi tersebut bisa ditelusuri penyebabnya secara berangkai dari mulai penyidikan sampai penuntutan. Biasa ditemui dalam surat dakwaan hanya disebutkan cara-cara bagaimana suatu tindak pidana korupsi dilakukan, namun tidak menguraikan “perolehan” harta dari hasil korupsi. Persisnya, tidak ada uraian bagaimana cara harta yang diduga hasil korupsi tersebut diperoleh berikut rincian perhitungannya sesuai audit. Sedangkan jelas-jelas dakwaan mencantumkan Pasal 18 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU No 31 Tahun 1999.

Jadilah kasus korupsi pepesan kosong. Aparatnya berkeringat tapi tak menghasilkan apa-apa, ibarat orang jalan di tempat. Pasalnya, setiap kasus yang ditangani ada biaya untuk mengusutnya. Untuk kasus korupsi, biaya yang dikeluarkan negara bisa puluhan juta rupiah. Namun, pada garis finis, alih-alih biaya itu kembali, yang terjadi malah tekor.

Sebagaimana diketahui, unsur “memperoleh” tersebut haruslah dibuktikan berapa persisnya harta hasil korupsi yang diperoleh terdakwa. Untuk itu, harus dihitung harta terdakwa sebelum tindak pidana korupsi dilakukan, dan berapa harta terdakwa sesudah korupsi dilakukan, sehingga didapatkan hasil penambahan kekayaan terdakwa yang diperoleh dari hasil korupsi.

Keseriusan pengembalian kerugian keuangan negara harusnya juga tergambar mana kala semua penyertaan (deelneming) vide Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yakni semua pihak yang terlibat menerima atau memperoleh harta dari hasil korupsi, semuanya diusut dan didakwa ke pengadilan.

Jika pihak yang terlibat tidak didakwa semua, maka sudah dapat dipastikan kerugian keuangan negara tidak akan bisa diselamatkan secara utuh. Sebab, proses pengembalian kerugian keuangan negara yang tidak mau sukarela adalah dengan eksekusi, lah, bagaimana mau mengeksekusi jika yang bersangkutan tidak dijadikan tersangka dan terdakwa di pengadilan. Hal krusial begini yang acap kali tak disadari sehingga “tebang pilih” dalam kasus korupsi dianggap ringan dan biasa saja.

Mengingat, jika konteks korupsi adalah perbuatan melawan hukum (Pasal 2) dan penyalahgunaan wewenang (Pasal 3), maka orientasi penegakan hukum haruslah pengembalian kerugian keuangan negara. Tak ada artinya pengusutan korupsi jika kerugian keuangan negara tidak berhasil diselamatkan.

Walaupun “kerugian keuangan negara atau perekonomian negara” sebagai unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tersebut tidak bersifat wajib yang ditandai kata “dapat” dalam redaksional pasal bersangkutan, namun menurut Nur Basuki Minarno (2008), kerugian keuangan negara tersebut haruslah ada baru terdapat relevansi korupsinya.

Parameter kerugian keuangan negara tersebut berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo. Pasal 35 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, haruslah “nyata dan pasti”. Kerugian keuangan negara yang baru “akan” atau “belum” terjadi (potential loss), tidak tergolong kerugian keuangan negara.

Supaya kerugian keuangan negara itu jelas legalitas “nyata dan pasti”-nya harus ada audit. Audit untuk kepentingan proses hukum projustitia harusnya dilakukan lembaga independen, yang tidak memihak, dalam hal ini Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) vide Pasal 10 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 11 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bukan audit seperti biasa dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sesuai permintaan Kejaksaan atau Kepolisian, karena BPKP berada dalam satu cabang kekuasaan ketatanegaraan yang sama dengan Kejaksaan dan Kepolisian, yakni sama-sama cabang kekuasaan eksekutif.

Jaksa atau polisi bisa saja menghitung kerugian keuangan negara akan tapi perhitungan demikian tidak memiliki legalitas mengikat menurut hukum. Umpama kata penulis bisa saja berpendapat penyakit kanker usus si A disebabkan kurang makan sayur, tapi pendapat ini tidak mengikat dan memiliki legalitas seperti dilakukan seorang dokter ahli.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006 dalam pertimbangan putusan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 menyebutkan, “Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.”

Memaksa mendakwakan kerugian keuangan negara yang belum/tidak nyata dan pasti pada gilirannya akan terbentur saat eksekusi kelak. Sebab, harta yang dieksekusi haruslah jelas dan tertentu objeknya. Kompleksitas demikian yang juga acap tak disadari dengan baik dalam penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara korupsi di pengadilan. Main terabas saja.

Perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang tidak berimplikasi merugikan keuangan negara tidaklah tergolong perbuatan korupsi. Paling banter hanya kesalahan administrasi belaka. Kecuali kesalahan administrasi berupa pemalsuan, sekalipun tidak merugikan keuangan negara, tetap dapat didakwa korupsi dengan Pasal 9 UU No 31 Tahun 1999.

Sebaliknya, terdapatnya kerugian keuangan negara, tapi tidak terpenuhinya unsur melawan hukum (wederrechtelijk) dan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir), maka perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana korupsi sesuai konteks Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999. Seumpama ketekoran (kerugian) keuangan negara dalam pemberantasan korupsi akibat ganti rugi gagal dieksekusi oleh jaksa eksekutor.

Berbeda halnya dengan pidana korupsi penyuapan, pemerasan, gratifikasi (hadiah atau pemberian dalam arti luas), dan bentuk lain korupsi yang tidak merugikan keuangan negara, maka orientasi pidana badan terhadap terdakwa mendapatkan relevansinya, selain tentu saja pidana denda.

Perhitungan kerugian keuangan negara dalam pemberantasan korupsi memang sederhana kedengarannya. Namun sangat kompleks ketika dilaksanakan dalam praktik. Jadi, jangan “main gas” saja jika kerugian keuangan negara tidak nyata dan tidak pasti alias hanya pendapat subjektif penyidik. Karena, nanti, kalaupun menang di pengadilan pasti kebentur waktu eksekusi.(***)

(*) Sutomo, Advokat/Praktisi Hukum (NIA 07.11029) di Padang