Senin, 10 Januari 2011

Menjadi Oposisi Pemberantasan Korupsi

Mungkin ada yang bertanya mengapa saya cenderung beralih pendirian menjadi sangat kritis terhadap pemberantasan korupsi beberapa tahun terakhir. Alasan mendasar adalah karena peran dan fungsi advokat memang mengharuskan demikian. Mengontrol kinerja aparat hukum lain: polisi, jaksa, dan hakim.

Namun, alasan yang agak pribadi adalah kenyataan bahwa semakin jauh menyelam ke dunia praktisi hukum semakin nampak realitas kesenjangan antara ideal-hukum dengan kenyataan penerapan hukum di lapangan. Betapa banyak pemberantasan korupsi tanpa basis moralitas. 

Diluar tampak memberantas korupsi. Tapi di dalam, setelah ditelisik benar-benar, terungkaplah alasan sebenarnya: sekedar tekanan atasan, target 1-3-5, atau modus mencari keuntungan fragmatis (publikasi media, dapat duit dari saksi-saksi yang berpotensi jadi tersangka, memeras tersangka/terdakwa, menerima suap, dan modus jahat lainnya).

Aksi-aksi korupsi dunia peradilan demikian mudah tercium baunya akan tetapi susah dibuktikan. Karena praktik demikian dilakukan di belakang layar, tanpa bukti transaksi, dan tanpa saksi-saksi. Hanya indikasi saja yang terbaca dari, antara lain, bahasa tubuh, gaya hidup yang tidak sesuai dengan penghasilan, dan sebagainya.

Sangat susah menemukan pemberantasan korupsi berbasis moralitas. Yang saya maksudkan adalah: alasannya benar, dengan cara benar, dan untuk tujuan yang benar pula yaitu tegaknya hukum dan keadilan demi kesejahteraan bangsa. Dengan pendirian bahwa harusnya aparat menjadi hamba pengabdi hukum yang tulus berhati nurani. 

Secara pribadi, sebagai advokat, ketidakpastian hukum demikian adalah justru "ladang"  Sebab, jika hukum sudah mekanis, dijalankan benar-benar, dengan cara yang benar, dan untuk tujuan yang benar pula, maka tidak perlu lagi peran advokat. 

Justru karena hukum serba tidak pasti, maka keberadaan advokat sangat urgen. Namun, advokat bukan hanya sebagai penegak hukum dalam arti sempit, dari sudut klien, atau hanya untuk mencari nafkah, melainkan juga untuk memperjuangkan tujuan-tujuan yang lebih besar, untuk memerankan diri sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution).

Dengan peran advokat yang lebih luas tersebut, advokat harus ikut dalam pusaran perubahan sosial di sekitarnya. Memastikan bahwa konstitusi dijalankan dengan sebaik-baiknya. Karena, memang, dalam awal sejarahnya, advokat adalah penjaga konstitusi. Dulu belum ada Mahkamah Konstitusi. Dan, setelah ada Mahkamah Konstitusi pun, peran advokat sebagai penjaga konstitusi tidak berkurang. Sebab, Mahkamah Konstitusi hanya menjalankan peran dan fungsinya secara pasif, hanya bila ada permohonan saja.

Maka, jika dulu, setidaknya melalui tulisan, terlihat mendukung pemberantasan korupsi nyaris tanpa reserve. Sekarang, justru mengkritisi pemberantasan korupsi dengan sengit. Kemunafikan dan kepalsuan dalam pemberantasan korupsi sudah sampai taraf memuakkan.

Kepalsuan dalam pemberantasan korupsi tersebut tidak saja terlihat pada kasus-kasus besar seperti kasus Gayus HP Tambunan saja, melainkan juga pada kasus-kasus korupsi sekala kecil di daerah-daerah.

Ambil contoh dalam soal penahanan. Sekarang ini ada kecenderungan penahanan dalam kasus korupsi menjadi wajib sifatnya. Sementara menurut KUHAP, penahanan tidak wajib dan pengecualian sifatnya (non arrested is principle, arrested is exception), yakni jika ancaman pidananya lima tahun atau lebih, dan tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, mengulangi tindak pidana, dan menghilangkan/merusak barang bukti.

Pada banyak kasus, tidak terpenuhi syarat penahanan pun, tersangka/terdakwa tetap ditahan. Misalnya, tersangka/terdakwa tidak mungkin melarikan diri karena sudah dijamin istri/suami, tempat tinnggal tetap dan keluarga tanggungan berada dalam satu rumah; tidak mungkin mengulangi tindak pidana, karena tidak berada lagi pada posisi yang sama untuk melakukan perbuatan pidana yang disangkakan; tidak mungkin menghilangkan/merusak barang bukti, karena semua barang bukti sudah disita penyidik. Akan tetapi, tersangka/terdakwa tetap ditahan juga. 

Anehnya, dalam beberapa kasus korupsi lainnya, tersangka tidak ditahan, seperti pada kasus PDAM Padang. Padahal, kondisi objektif dan subjektif untuk dilakukan penahanan sudah terpenuhi. Contoh, syarat objektif ancaman pidana lima tahun atau lebih, terpenuhi; syarat kekhawatiran menghilangkan barang bukti  pun terpenuhi, karena banyak barang bukti belum disita dan yang bersangkutan (tersangka) masih menduduki jabatannya sehingga sangat rawan menghilangkan/merusak barang bukti. Namun, tersangka dalam perkara ini tidak ditahan.

Banyak lagi contoh lain yang lebih telanjang. Sehingga dari sini penting dicermati bahwa kinerja aparat hukum tidak hanya harus didukung tapi juga harus diawasi. Dikritisi. Sebab, korupsi mustahil bisa diberantas jika aparat pemberantasnya sendiri masih berkubang dalam lumpur korupsi.(*) 

Jefferson vs Pelanggaran Asas Hukum

Peran hakim cenderung sudah diambil alih oleh pers dan publik dalam banyak kasus, terutama  dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi (tipikor), seperti dialami Jefferson Rumaja, Wali Kota Tomohon sekaligus terdakwa kasus korupsi, yang divonis pers dan publik bahkan sebelum hakim melakukannya.
Suara publik dan pers sangat kencang supaya yang bersangkutan tidak dilantik menjadi wali kota. Alasannya, Jefferson berstatus terdakwa kasus korupsi APBD 2006-2008.
Dalam kasus Jefferson, misalnya, konteksnya bukan hanya bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda berikut perubahaannya yang melarang terdakwa menduduki jabatan wali kota, melainkan lebih tinggi lagi, sesuai asas praduga tak bersalah bahwa Jefferson belum dinyatakan bersalah oleh mekanisme hukum sehingga masih berhak menduduki jabatan wali kota.
Dalam filsafat hukum diajarkan bahwa asas hukum merupakan dasar atau fondasi kebenaran dari suatu norma hukum yang diformulasikan ke dalam pasal dan ayat peraturan perundang-undangan atau hukum positif. Asas lebih tinggi tingkatnya dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Contoh, asas persamaan di depan hukum (equality before the law), asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan sebagainya. Pasal tidak boleh bertentangan dengan asas-asas hukum tersebut. Melawan asas sama dengan melawan hukum alam. Muskil.
Asas hukum sesuai sifat hakikatnya adalah netral, tidak memihak. Ia merupakan kristalisasi bagaimana hukum harusnya berprinsip. 
Memang, dalam praktik penerapan hukum, yang mengikat adalah pasal dan ayat suatu peraturan perundang-undangan. Asas tidak mengikat secara langsung, boleh dipedomani dan boleh juga tidak. Akan tetapi, karena asas merupakan pondasi suatu kebenaran, maka asas mau tak mau harus berlaku  dengan sendirinya terlepas ia ditaati atau tidak.
Jika asas praduga tak bersalah dilanggar, misalnya, maka esensinya sama dengan meruntuhkan hukum secara keseluruhan. Demikianlah bagaimana suatu asas bekerja.
Andai seseorang sudah dianggap bersalah dan tidak berhak lagi menduduki jabatan publik, sudah kehilangan hak keperdataan dan kewargaan, sebelum ada vonis hakim yang menyatakannya bersalah demikian, maka esensinya tidak perlu lagi ada sistem hukum. Tidak perlu ada penyidikan oleh polisi/jaksa, penuntutan oleh jaksa, dan pemeriksaan di pengadilan yang dipimpin oleh hakim. Langsung saja seseorang yang dicurigai korupsi dianggap bersalah dan dijebloskan ke penjara.
Jika demikian halnya, hakikatnya sama dengan negara barbar. Hukum adalah saya. Saya itu bisa berwujud raja, presiden, publik, pers, dan lain-lainnya.
Barang kali kita semua sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama dan harus diberantas. Akan tetapi, pemberantasannya haruslah tetap dalam koridor hukum, berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kebencian. Pemberantasan korupsi karenanya tidak boleh menafikan dan menghilangkan hak keperdataan seseorang yang merupakan hak asasi manusia. Sebab, tersangka/terdakwa kasus tipikor adalah manusia. Bukan binatang.(*)