Sabtu, 24 Maret 2012

Stop Intervensi Pengadilan!


Oleh: Sutomo (*)
 
Akhir-akhir ini terlihat kecenderungan pengerahan massa di Pengadilan Negeri Padang/Pengadilan Tipikor Padang. Sebut saja pengerahan mahasiswa dan dosen STAIN Djambek Bukittinggi tiap kali sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Ketua STAIN Djambek Bukittinggi, Ismail Novel. Harian ini antara lain memberitakan kericuhan massa di Pengadilan Tipikor Padang, Kamis (22/3).

Sejauh yang penulis pantau, tujuan dari pengerahan massa ke Pengadilan Negeri Padang tersebut adalah semacam unjuk rasa supaya terdakwa yang sedang disidangkan dibebaskan oleh hakim. Inilah sekedar contoh tekanan publik pada lembaga pengadilan di tingkat lokal.

Terjadinya kericuhan di pengadilan, bahkan sampai seorang terdakwa jaksa Sistoyo dibacok keningnya, dan aksi gigit sendal jepit oleh Bupati Subang Eep Hidayat beserta massa di Mahkamah Agung belum lama ini, karena tidak puas dengan putusan hakim kasasi, adalah diantara kejadian yang menghiasi kolom hukum dan kriminal di media massa lokal dan nasional.

Varian lain dari tekanan publik pada proses pengadilan yang sedang berjalan adalah, pengerahan massa menyampaikan aspirasi supaya terdakwa dihukum. Subvarian yang lebih terkesan intelek adalah, aksi intelektual berupa eksaminasi terhadap putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap, lalu hasil eksaminasi tersebut diekspose ke publik dan disampaikan ke lembaga-lembaga terkait, supaya mempengaruhi putusan pengadilan lebih tinggi, yakni menghukum terdakwa.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada rekan-rekan yang melakukan eksaminasi tersebut, harus penulis sampaikan bahwa eksaminasi terhadap perkara yang sedang berjalan tersebut sangatlah riskan. Namun penulis tetap tidak sependapat jika eksaminator tersebut dilaporkan ke proses pidana di kepolisian.

Fenomena intervensi kepada lembaga pengadilan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, sangat membahayakan sistem negara demokrasi yang berlandaskan supremasi hukum. Lantas, bagaimana penyampaian aspirasi yang proporsional ketika proses hukum sedang berjalan di lembaga pengadilan?

Setidaknya ada tiga subsistem yang terlibat dalam suatu sistem pengadilan pidana: jaksa, terdakwa/penasehat hukumnya, dan hakim. Kepaniteraan dan juru sita merupakan pendukung atministratif tugas-tugas hakim.

Aspirasi terdakwa diwakili oleh advokat atau penasehat hukum (PH). Aspirasi masyarakat dan negara diwakili oleh jaksa penuntut umum (JPU). Dan “wasitnya” adalah hakim. Ketiganya berjalan sesuai proporsinya masing-masing dalam kerangka sistem pengadilan pidana. Dalam kerangka sistem itu pulalah aspirasi disampaikan secara proporsional.

Oleh karena massa yang menghendaki terdakwa dibebaskan berada sekubu dengan terdakwa, aspirasinya disampaikan kepada PH. Sebaliknya, kubu yang menghendaki tersangka/terdakwa dihukum menyampaikan aspirasinya ke JPU. JPU dan PH kemudian menyampaikan aspirasinya ke hakim melalui forum persidangan. Hakim-lah yang akan memutuskan siapa yang benar, apakah JPU atau terdakwa/PH.

Nanti di akhir proses persidangan, jika terdakwa bersalah putusannya adalah penghukuman. Sebaliknya jika terdakwa tidak bersalah maka putusannya adalah pembebasan atau lepas dari tuntutan hukum. Atas putusan demikian, jika merasa tidak puas, para pihak berhak menempuh upaya hukum banding atau kasasi.

Karena itu, dengan asumsi hakim tidak lain hanya memeriksa dan memutus perkara menurut hukum, tidak ada anasir melawan hukum seperti suap atau pemerasan, maka sebenarnya tidak ada kepentingan bagi hakim apakah terdakwa dihukum atau dibebaskan/dilepaskan. Hakim hanyalah pengandil atau semacam “wasit”.

Bagaimana dengan hak setiap warga negara untuk unjuk rasa, termasuk hak mahasiswa untuk demonstrasi menyatakan pendapat? Jika titik pijaknya adalah hak maka setiap warga negara berhak untuk demonstrasi menurut tata cara yang diatur perundangan. Ibarat kata, sama berhaknya setiap orang untuk minum susu. Tapi tidak setiap susu diembat termasuk susu tetangga. Proporsionalitas penyaluran aspirasi tetap harus dijaga supaya kultur hukum yang beradab terjaga dengan baik, sebagai garis pembeda antara ketertiban dan kekacauan.

Demonstrasi mahasiswa yang menghendaki terdakwa korupsi dibebaskan tersebut mau tak mau terkesan ironis di mata publik. Betapa tidak, biasanya mahasiswa berdemonstrasi supaya terdakwa korupsi dihukum, ini sebaliknya demonstrasi supaya terdakwa korupsi dibebaskan. Walaupun proporsionalitas kedua macam demonstrasi tersebut dikatakan sebagai tidak pas seperti diutarakan di atas.

Ekses dari tekanan publik yang tidak proporsional tersebut, termasuk penghakiman oleh pers, sedikit banyak akan mempengaruhi independensi hakim. Sebab, hakim juga manusia yang punya rasa dan jiwa. Wajar ngeri dengan keberingasan massa, dan pula wajar melakukan kalkulasi ketika akan memutus perkara, karena nanti akan dihakimi oleh publik dan media lalu diberi catatan jelek sistem administrasi kepegawaian yang mempengaruhi jenjang karir, jika hakim bersangkutan membebaskan terdakwa yang kuat disorot publik, walaupun hakim ragu akan kesalahan terdakwa.

Secara kalkulatif, menghukum terdakwa korupsi dan terorisme, misalnya, yang kadar kesalahannya diragukan lebih menguntungkan dari segi karir dari pada membebaskannya. Jika terdakwa dihukum, nama hakim akan “harum” di mata publik. Sebaliknya, jika membebaskan terdakwa korupsi maka nama hakim akan dicap negatif sebagai “prokoruptor”.

Maka, ada adagium tidak resmi yang berbunyi: pokoknya, setiap terdakwa korupsi dan terorisme harus dihukum. Kalaupun mau dibebaskan silahkan oleh hakim yang lebih tinggi.

Sekali saja independensi hakim goyah karena tekanan publik maka esensi lembaga pengadilan sudah roboh. Pengadilan tidak ada gunanya lagi, semua hanyalah sandiwara. Sebab,  pengadilan telah terdegradasi menjadi “lembaga penghukuman” atau “lembaga pembebasan”. Keduanya sama berbahaya.(*)

(*) Penulis, Praktisi Hukum

Sabtu, 28 Januari 2012

Aku Tak Percaya Bank dan Asuransi!

Oleh Sutomo (*)

Dari sekian banyak instrumen ekonomi, bank dan asuransi adalah yang paling tak masuk akal. Bagaimana tidak, nasabah setor uang ke bank tapi malah bayar. Sedangkan uang itu dimanfaatkan bank habis-habisan untuk mengeruk keuntungan dengan menyalurkannya ke kredit yang bunganya mencekik, atau, jika malas mengucurkan kredit, uang nasabah tadi akan ditarok ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan bunga berlipat-lipat dibandingkan bunga yang diberikan pada nasabah penyimpan.

Sekedar gambaran betapa “merusaknya” bank itu, berikut ini adalah nasehat Warren Buffet, orang terkaya nomor dua di dunia saat ini: untuk meraih sukses dan kebebasan keuangan jauhilah pinjaman bank atau kartu kredit!

Maka, wajarlah jika di negara maju seperti Jepang membuat kebijakan bunga bank sangat rendahnya sehingga warga tidak menarok uangnya di bank melainkan menggunakan uangnya untuk bisnis riil.

Memang. Tidak semua produk perbankan itu jelek. Jasa penyimpanan (safe deposit box) bolehlah cukup membantu. Jasa simpanan dalam bentuk emas juka oke. Oh, ya, masih ada yang lain yang oke?

Sama tak masuk akalnya adalah asuransi. Bagaimana mungkin kita mengalihkan resiko pada asuransi dengan membayar premi (premi pasti harus dibayar) sedangkan resiko itu tidaklah pasti akan terjadi, tapi pembayaran premi pasti harus dilunasi. Jika resiko tidak terjadi dalam kurun tertentu masa tanggungan, premi dianggap hangus. Owww, tidak adil banget.

Mendingan uang digunakan untuk investasi riil, atau ditabung sendiri (bukan di bank, tapi dalam bentuk emas, sertifikat saham, dll). Saat resiko benar-benar terjadi, uang tadi bisa digunakan untuk mengatasi resiko tersebut.

Sesungguhnya, ada alasan lain mengapa aku tak suka asuransi dalam segala bentuk dan turunannya. Ya, karena tak tahan dengan prosedur birokrasinya. Ketika resiko benar-benar terjadi, harus siapkan bukti inilah, bukti itulah, fotocopy itulah, inilah, lalu menunggu. Harap-harap cemas permohonan dikabulkan pihak asuransi. Seolah-olah nasabah yang memohon dan meminta-minta. Dan asuransi adalah malaikat penolong. Padahal, duitnya duit nasabah!

Sore kemaren agen asuransi datang ke rumah. Baru duduk sudah kusampaikan pendirian di atas. Langsung deh agen itu ngacir. Ha ha ha ha!(*)

(*) Penulis advokat/praktisi hukum, tinggal di Padang

Rabu, 25 Januari 2012

Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" dalam Perkara Pidana

Oleh Sutomo (*)

Ini kisah nyata. Seorang hakim ketua terlihat tenang tanpa beban sedikit pun, hanya bisik-bisik sebentar dengan kedua hakim anggota di kiri dan kanannya, lalu berkata: "Ya, sudah, kami vonis saudara lima tahun, sama dengan tuntutan jaksa." Tok! Palu hakim diketok. 

Ketokan palu hakim tersebut hanya berjarak paling banter dua menit sesudah Jaksa Penuntut Umum membacakan surat tuntutannya. Artinya, majelis hakim tidak melakukan musyawarah dan mencantumkan pertimbangan putusan dalam buku putusan, kalaupun dibuat sudah pasti dibuat belakangan saja. Artinya pula, terdakwa tidak diberi waktu yang wajar untuk membela diri (terdakwa tanpa penasehat hukum), hanya diberi pertanyaan bernada formalitas (apakah terdakwa ada pembelaan?). Bayangkan, seseorang dirampas kemerdekaannya selama lima tahun, tanpa pertimbangan apapun mengapa terdakwa dihukum sampai lima tahun.

Saya sepontan tercengang. Waaaaaah, merampas kemerdekaan orang selama lima tahun, begitu saja.

Surat tuntutan perkara tersebut pun hanya dibacakan secepat kilat. Hanya amar tuntutan saja dibacakan. Tak sampai tiga menit selesai dibacakan. Selebihnya dianggap terbacakan. Serba cepat dan terburu-buru.

Kejadian serupa itu sekarang acap terjadi sejak di Pengadilan Negeri berdiri kamar baru bernama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Sejak berdiri Pengadilan Tipikor tersebut, Pengadilan Negeri bersangkutan diserbu perkara korupsi dari seluruh kabupaten dan kota seantero propinsi. Ditambah perkara pidana umum dan perdata (plus tambahan dari kabupaten sebelah yang belum ada pengadilannya), bisa dibayangkan berapa banyaknya perkara yang harus disidangkan tiap hari di pengadilan tersebut.

Jadilah suasana pengadilan mirip pasar. Riuh rendah. Orang-orang lalu lalang penuh sesak di lobi, kiri kanan gedung, di samping ruang sidang, dan di halaman parkir, bahkan di muka WC. Asap rokok mengepul di mana-mana. Suara lolongan anak kecil menjerit-jerit dan berlari-lari (padahal sudah ada pengumuman dilarang bawa anak kecil ke pengadilan).

Jadi jangan heran jika persidangan jadi serba terburu-buru. Nyaris semua dokumen perkara pidana atau perdata dianggap terbacakan. Memang, bisa saja tetap ngotot untuk dibacakan seluruhnya, tapi antusiasme nyaris tidak ada. Seperti tak sabar cepat selesai. Maklum, perkara lain sudah menunggu disidangkan pula.

Pertanyaan pada saksi-saksi dan terdakwa sangat bernada formalitas belaka. "Benar saudara pernah diperiksa di kepolisian? Apakah keterangan saudara dalam BAP benar?". Begitu saja. Pertanyaan lain hanya formalitas belaka. Tidak ada kelihatan upaya keras untuk menggali kebenaran materil, kebenaran yang sesunguh-sungguhnya sebagaimana terungkap di muka persidangan, yang digali dari keterangan saksi-saksi langsung di muka persidangan, keterangan terdakwa, kroscek dengan alat bukti surat, dan seterusnya.

Untuk perkara pidana keadaan di atas sangat memprihatinkan. Karena perkara harusnya menggali kebenaran materil. Tapi yang terjadi, sejak tumpukan perkara pasca berdirinya Pengadilan Tipikor, kebenaran formil yang lebih mengemuka diungkap dalam persidangan perkara pidana. Yakni, kebenaran sejauh yang tertulis dalam BAP tingkat penyidikan dan surat dakwaan saja.

Suasana kebatinan yang terasa di lingkungan pengadilan adalah, ya, sudah semua terdakwa perkara korupsi pokoknya harus dihukum. Bersalah tak bersalah pokoknya terdakwa harus dihukum. Terbukti tak terbukti dakwaan pokoknya terdakwa harus dihukum. Pidana atau perdata fakta hukum yang terungkap di persidangan, sama saja, terdakwa harus tetap dihukum.

Kalaupun terdakwa harus bebas, biarlah itu urusan hakim di Pengadilan Tinggi. Lihatlah. Jelas sekali cari aman. Semua demi karir dan popularitas. Bukan demi hukum dan keadilan. "Lembaga pengadilan" dalam kenyataannya berpotensi terdegradasi menjadi "lembaga penghukuman".(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang