Senin, 27 September 2010

“Whistleblower” Masuk Karung

Oleh SUTOMO


Andai penulis melihat praktik korupsi saat ini, entah di instansi lain atau di institusi sendiri, rasanya berpikir seribu kali sebelum melaporkannya ke penegak hukum. Bahkan, setelah berpikir seribu kali pun, bisa jadi akhirnya urung melapor. Mengapa?


Hitungannya harus cermat betul sebelum melaporkan kasus korupsi orang lain. Karena bisa-bisa justru jadi target. Alih-alih terlapor yang masuk penjara, eh, malah diri sendiri sebagai pelapor yang jadi bulan-bulanan dan masuk penjara duluan. Lihatlah kasus Susno Duadji.

Tulisan ini bermaksud ikut menyuarakan kegelisahan publik perihal betapa rawannya arah pemberantasan korupsi di negeri ini pada masa mendatang. Oleh karena para pemukul kentongan atau peniup peluit (whistleblower), yang melaporkan kasus korupsi di institusinya, sama sekali tidak mendapat perlindungan hukum secara berarti.

Bahkan, perlindungan saksi dan pelapor yang digadang-gadang oleh UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam praktik, ternyata nonsen. Khususnya ketika berhadapan dengan cabang kekuasaan lain, semisal polisi.

Kurang apa Susno Duaji. Ia seorang jenderal polisi berbintang tiga berpangkat Komisaris Jenderal Polisi, mantan Kabareskrim, dan jaringannya luas. Tapi yang terjadi ia justru meringkuk di dalam jeruji besi setelah melaporkan indikasi mafia hukum di institusinya sendiri. Mengutip Saldi Isra (Kompas, 3/6/2010), ia dulu dijerat kasus A, sekarang B dan C. Tapi itu semua permainan saja.

Kasus Susno ini benar-benar edan. Bayangkan saja. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang berkualitas “katanya”, yaitu keterangan para saksi yang tidak bersesuaian satu sama lain. Dan, tanpa barang bukti langsung, misalnya uang yang konon diterima Susno itu. Sehingga wajar saja jika sekarang berkas perkara Susno dikembalikan lagi oleh jaksa penuntut umum ke penyidik.

Terkait hal ini, beberapa saat setelah ditahan, Susno mengirim pesan singkat ke detikcom. Dikatakannya bahwa keterangan saksi-saksi tersebut sangat lemah, karena satu sama lain tidak memiliki korelasi yang jelas. Tak ada satu orang pun yang menyaksikan langsung bahwa Sjahrir Djohan memberikan sejumlah uang kepada dirinya. Haposan katanya dimintai uang oleh Sjahrir Djohan, saksi Samsurizal hanya dipameri bungkusan oleh Sjahrir Djohan, dan Syamsurizal ini tidak pernah sama sekali tahu atau melihat apa isi bungkusan itu.

Jika demikian halnya, lanjut Susno, andai dirinya mengatakan bahwa uang tersebut adalah permintaan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD). Selanjutnya Susno mengajukan 10 atau 100 orang saksi, mulai dari yang membungkus uang, memasukan ke dalam tas, sopir mobil yang mengantar Susno ke rumah BHD, ajudan Susno yang mendampinginya dan lain-lain sehingga keterangan saksi tersebut satu sama lain nampak “bersesuaian”.

Dengan demikian, masih menurut Susno, apakah BHD lantas juga dijadikan tersangka, kemudian ditangkap dan ditahan? Selanjutnya BHD protes, maka cukup dijawab dengan penyidik sangat yakin terbukti. Kalau tidak puas, silakan gugat praperadilan atau menunggu putusan pengadilan. Celaka kan? Ini jelas tuduhan rekayasa. Demikian tulis Susno.

Penulis membayangkan putusan praperadilan akan memenangkan Susno, terutama karena bukti permulaan sebagai dasar penangkapan dan penahanan sangat tidak cukup dan berkualitas. Sehingga arah pemberantasan korupsi menjadi terang dan memancarkan sinar harapan. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang, hakim praperadilan berlogika hukum kuantitatif. Dan Susno pun dikalahkan. Hakim hanya menimbang cukup dengan satu laporan ditambah saksi, dan tidak mau menilai lebih jauh kualitas para saksi, lantas dikatakan proses hukum sudah prosedural (sudah cukup bukti).

Dengan logika hukum demikian, jika penulis mengarang cerita lalu melaporkan si Anu bin Fulan, kemudian penulis bawa saksi agak tiga orang, maka si Anu bin Fulan harus ditangkap dan ditahan. Alasannya, sudah prosedural karena ada laporan ditambah saksi-saksi. Begitukah hukum yang berkeadilan? Sedangkan setiap tindakan pro justitia selalu diberi irah-irah ‘untuk keadilan’ di pojok kiri atas surat-suratnya.

Pasca putusan praperadilan yang mengecewakan itu, banyak pihak akhirnya tinggal berharap pada taji Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan mampu melindungi Susno sehingga Susno bisa leluasa mengungkap para bajingan sampah hukum di institusinya. Namun, sekali lagi, publik dikecewakan. LPSK dicueki. Mabes Polri berkeras Susno tetap dalam tahanan polisi karena Susno berstatus tersangka dan bukan saksi sesuai ruang lingkup perlindungan UU No 13/2006.

Mengapa perihal lemahnya perlindungan peniup peluit mengkhawatirkan dan menggusarkan kita adalah karena, umumnya, logika masyarakat demikian adanya. Suka membanding-bandingkan. Ditambah bahwa ‘teriakan’ dari kasus Susno ini sangat nyaring; sangat luas spektrum pemberitaan oleh berbagai media massa baik cektak maupun elektronik. Wajar jika bernilai kampanye buruk luar biasa bagi para (calon) peniup peluit kasus korupsi.

Orang-orang yang mengikuti informasi akan sangat logis jika merasa takut melaporkan kasus korupsi. Warga kebanyakan yang tidak berpangkat dan tidak terkenal kalau berani-beraninya melaporkan kasus korupsi orang yang berkuasa, ya, pasti dikarungi.

Sebaliknya, jika berpikir sedikit ideologis, agak mendasar, mau jadi martir mungkin, balas dendam, atau apapun motifnya, bolehlah tetap berani melaporkan kasus korupsi. Dengan harapan, seiring waktu, penegak hukum berubah dan berani menggunakan diskresinya dengan benar.
Penegak hukum, seperti polisi, memiliki kewenangan diskresi untuk meneruskan atau menghentikan suatu kasus. Dengan kewenangan diskresi ini, polisi bisa saja menghentikan atau menunda dulu setiap laporan dan proses hukum terhadap peniup peliut kasus korupsi. Lantas mendahulukan kasus yang dilaporkan peniup peluit.

Dengan penggunaan diskresi secara akuntabel berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), kelemahan UU No 13/2006 yang tidak melindungi saksi yang sekaligus berstatus tersangka, dapat ditepis. Dalam konteks ini, terlihat bahwa faktor utama mutu penegakan hukum tetap di tangan manusianya (para penegak hukum). Di tangan penegak hukum yang beritikad baik, aturan yang buruk pun bisa mendatangkan kemaslahatan umum.

Jika aparat enggan menggunakan diskresi tersebut, ke depan, orang pasti akan takut melaporkan kasus korupsi. Itu pasti. Di negeri para mafia, orang cenderung berpikir praktis-praktis saja. Lihatlah, bukankah sudah lama KPK tidak menangkap basah pelaku korupsi kelas kakap?(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Senin, 7 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar