Saat membuka Facebook Kamis (13/10) siang, penulis terkejut
melihat foto makan siang jaksa dan Djufri, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi
Partai Demokrat dan terdakwa sekaligus tahanan dalam kasus korupsi pengadaan
tanah pembangunan kantor DPRD Kota Bukittinggi dan pool kendaraan Subdinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Bukittinggi tahun 2007, terpampang di dinding
Facebook milik rekan Roni Saputra, Koordinator Divisi Pembaruan Hukum dan
Peradilan LBH Padang.
Banyak yang menduga peristiwa ini akan menjadi berita besar.
Benar saja. Media massa khususnya yang terbit di
Padang
menjadikan peristiwa makan siang ini sebagai berita utama pada keesokan hari,
Jum’at (14/10). Media nasional pun menyorotnya, seperti Kompas.
Sebagaimana diberitakan, Djufri kepergok wartawan tengah
makan siang bersama Jaksa Penuntut Umum (JPU) Zulkifli dan Kasi Penuntutan
Kejati Sumbar, Idial, di rumah makan Lamun Ombak (LO), Pasar Usang, Batanganai,
Kabupaten Padang Pariaman, 30 kilo meter dari Lembaga Pemasyarakatan Muaro Kota
Padang tempat di mana seharusnya Djufri ditahan, pada hari Kamis (13/10).
Idial membela diri bahwa acara makan siang itu sudah izin
pengadilan. Pengadilan telah mengeluarkan penetapan bagi Djufri berobat ke RS
Siti Rahma di Jalan By Pass Kota Padang. Namun karena
jadwal berobat pukul 15.00 Wib, maka siang sebelum jadwal itu tiba, Djufri
mengaja JPU Zulkifli dan Kasi Penuntutan Kejati Sumbar untuk makan siang.
Jauhnya tempat makan siang ini diduga kuat untuk menghindari sorotan publik.
Karena ruma makan yang sama (LO) ada Kota Padang, bahkan tak sampai 500 meter
dari PN Padang, tempat Djufri biasa disidangkan, tepatnya di Jalan Khatib
Sulaiman Padang.
Nah, dari kronologis peristiwa di atas pertanyaannya adalah,
apakah pantas acara makan siang tersebut dari sudut pandang hukum dan etika
profesi seorang jaksa?
Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No. 16 Tahun 2006
tentang Kejaksaan, melaksanakan penetapan hakim merupakan tugas dan wewenang
seorang jaksa dibidang pidana. Sampai di sini tidak ada masalah.
Sedangkan berdasarkan Doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa,
seorang jaksa dituntut kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, diri pribadi dan keluarga, maupun kepada sesama manusia
(Satya); kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa
tanggung jawab terhadap Tuhan Yang maha Esa, keluarga, dan sesama manusia
(Adhi); dan bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam
penetrapan tugas dan kewenangannya (Wicaksana).
Dari sudut pandang etika, apakah bijaksana seorang jaksa
yang tugasnya menuntut seorang terdakwa tapi bercengkrama akrab, makan bersama,
tertawa-tawa, pergi jauh ke luar kota untuk
makan siang sementara terdakwa adalah seorang tahanan dan penetapan yang diberikan
hakim adalah untuk berobat di rumah sakit atau bukan untuk melalang buana ke
luar kota?!
Percengkramaan jaksa dan terdakwa sampai jauh ke luar kota dan di tempat
tertutup pula, tepatnya di ruang VIP RM LO, perginya dengan mobil pribadi plat
hitam, tanpa pengawalan polisi pula…sudah barang tentu menimbulkan dugaan
macam-macam dari publik. “Yang paling mencurigakan adalah kenapa mereka harus
makan di ruangan tertutup, dan jauh dari Kota Padang. Dua jaksa ini harus
diperiksa,” ujar Roni Saputra (Padang Ekspres, 14/10).
Posisi terdakwa (Djufri) dan Jaksa (Zulkifli dan Idial)
bertolak belakang. Berlawanan. Terdakwa adalah pihak yang didakwa. Dan jaksa
adalah pihak yang menuntut terdakwa. Terdakwa adalah lawan jaksa, sebaliknya
jaksa adalah lawan bagi terdakwa. Jadi agak susah dicerna logika akal sehat
orang yang bermusuhan secara hukum tapi berpagut-pagut dengan mesranya. Ada apa ini?
Akar budaya bisa diurut dengan mudah. Inilah cermin budaya
guyub orang Indonesia,
kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong. Walaupun bermusuhan secara hukum tapi
secara pribadi tidak ada permusuhan sama sekali. Ini sikap profesional namanya.
Namun permasalahannya berada di jalur alur dan patut, jalur etika.
Penulis sendiri mengenal kedua jaksa itu, Zulkifli dan
Idial. Idial adalah senior di Fakultas Hukum Unand, seorang jaksa yang baik dan
pintar, beberapa kali pernah bertemu berlawanan di pengadilan, orang yang
tenang dan humoris. Karena kepribadiannya ini, penulis tidak berpikir buruk
bahwa ada dugaan suap dan sebagainya di balik “insiden” makan siang itu. Akan
tetapi publik umum bisa saja mempersepsi sebaliknya.
Karena itu, untuk kebaikan jaksa bersangkutan sendiri dan
demi wibawa institusi, ada baiknya peristiwa ini didalami oleh Komisi Kejaksaan
jika ada laporan untuk itu, sekaligus diperiksa oleh atasan jaksa tersebut
secara hirarkis dan institusional. Bukan semata untuk maksud menghukum, tetapi
untuk supaya ada evaluasi untuk perbaikan di masa mendatang. Jika ditemui
indikasi pidana maka wajib diberlakukan asas persamaan di depan hukum.(*)