Senin, 27 September 2010

Stempel Koruptor

Oleh SUTOMO

Sebanyak 33 orang anggota DPRD Propinsi Sumbar periode 1999-2004 dinyatakan tidak terbukti korupsi dan dibebaskan hakim pada tingkat Mahkamah Agung. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga, jangan buru-buru menuduh orang korupsi sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.


Jika tuduhan korupsi itu kemudian tidak terbukti, maka hukumnya fitnah dan diancam pidana empat tahun penjara (vide Pasal 311, 317, 318, 319 KUHP). Dalam kaitan ini, pihak yang merasa difitnah berhak menuntut secara hukum, baik secara pidana berdasarkan pasal-pasal tersebut, maupun dengan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum.

Dalam kejadian di atas, hanya kebesaran hati dan kelapangan jiwa saja, mungkin, yang membuat keluarga korban yang difitnah, tidak atau belum menuntut secara hukum.

Akan tetapi, tidak ada tuntutan hukum dari keluarga korban fitnah tersebut justru melahirkan konsekuensi moral yang luar biasa. Yaitu, mana kala keluarga korban ikhlas menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Ini lebih gawat. Dunia akherat pertanggungjawabannya.

Secara moralitas agama, dikatakan bahwa fitnah lebih keji dari pembunuhan. Orang yang memfitnah sama dengan memakan bangkai saudaranya sendiri. Bayangkan itu.

Apa yang diutarakan di atas adalah rasional atau logika kongkrit bagaimana asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocent) itu bekerja. Bahwa seseorang wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Asas ini bukan jargon kosong. Jadi, jangan dianggap enteng.

Boleh memberi stempel koruptor. Tapi hanya pada orang yang telah divonis hakim terbukti korupsi dan vonis hakim itu telah berkekuatan hukum tetap. Stempel koruptor itu pun tidak berlaku sepanjang hayat melainkan hanya sepanjang rentang waktu yang bersangkutan menjalani pidana. Ketika pidana sudah selesai dijalani, stempel koruptor harus dicabut. Karena terpidana sudah selesai menjalani hukumannya, sudah menebus kesalahannya, harmoni sudah kembali seimbang.

Ada kecenderungan sekarang, terutama aktivis antikorupsi seperti Saldi Isra dan Febri Diansyah dari ICW, gemar sekali memberi cap koruptor pada seseorang yang belum tentu bersalah. Lihatlah, opini Saldi Isra yang “mengadili” Ketua DPR RI Marzuki Alie sebagai mantan tersangka korupsi (kasusnya sudah di-SP3-kan) sewaktu menjabat Direktur PT Semen Baturaja (Kompas, 5/7/2010). Kontan tuduhan Saldi tersebut dibantah Marzuki Alie dengan menyebutnya sebagai pencemaran nama baik dan menyalahi prinsip dan etika kecendikiawanan (Kompas, 6/7/2010).

Dalam kejadian lain, Saldi menanggapi banyaknya advokat yang menangani kasus korupsi mendaftar menjadi calon pimpinan KPK, dengan pernyataan yang insinuatif dan menggeneralisasi, bahwa setiap advokat yang pernah menangani kasus korupsi otomatis bermasalah. "Pengacara yang pernah mendampingi koruptor, saksi ahli yang meringankan koruptor itu bermasalah. Sebab masih ada pengacara lain yang tidak mau mendampingi kasus korupsi," tandas Saldi sebagaimana dikutip detiknewscom. Logika guru besar hukum dari Fakultas Hukun Universitas Andalas ini seperti bukan logika sarjana hukum saja.

Hup, jangan lupa. 33 orang anggota DPRD Sumbar di atas diproses hukum dengan sangkaan korupsi dan dijebloskan ke tahanan, antara lain, juga karena desakan dan dorongan Saldi Isra dan kawan-kawan dari Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB). Nyatanya, tuduhan Saldi dan kawan-kawan kemudian tidak terbukti secara hukum dan terdakwa dinyatakan tidak bersalah serta dibebaskan. Inilah dosa sosial dan intelektual Saldi Isra. Tanpa berarti kita mengecilkan sumbangsih Saldi Isra pada ranah keilmuan dan pada bangsa ini.

Ironis sekali. Saldi Isra, awalnya, mendapat popularitas dan memperoleh “jembatan” ke pentas nasional gara-gara kasus DPRD Sumbar tersebut, dengan jargon yang sangat terkenal pada waktu itu: “korupsi berjamaah”. Tragisnya, beberapa diantara anggota dewan tersebut bahkan meninggal dunia pada waktu proses hukum sedang berjalan.

Soal argumen bahwa putusan hakim bukan berarti membenarkan anggota dewan bisa menetapkan anggaran melebihi rerata kehidupan rakyat Indonesia, tidak ada kepekaan terhadap krisis, hanyalah benar dari sudut pandang kepatutan (fatsoen). Tidak otomatis melanggar hukum positif. Karena hukum memang membolehkan penetapan angggaran itu. Andai pun itu dianggap korupsi, sama artinya presiden, menteri, pegawai BUMN yang bergaji besar di atas rerata penghasilan rakyat Indonesia, juga korupsi. Ini jelas tidak benar dan sesat pikir.

Terakhir. Tulisan ini hendak mengatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, seperti dilakukan aktivis seperti Saldi Isra dan kawan-kawan, perlu diletakkan dalam koridor hukum yang benar dan akuntabel. Sebab, jika tidak, potensial menzalimi orang, sekaligus rawan ditunggangi petualang politik atau kepentingan cari popularitas untuk berbagai tujuan pragmatis. (*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Artikel ini telah dimuat Harian Independen SINGGALANG, 8 Juli 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar