Senin, 27 September 2010

Malapraktik Profesi Hukum
 
Oleh SUTOMO

Mengapa jika jaksa yang diperiksa polisi harus izin Jaksa Agung, contohnya jaksa kasus Gayus Halomoan Tambunan. Sedangkan advokat bisa langsung ditangkap dan ditahan tanpa izin Ketua Peradi, contohnya advokat Manatap Ambarita. Padahal, advokat dan jaksa keduanya sama-sama berstatus sebagai penegak hukum.


Tulisan ini bermaksud menyoal perbedaan perlakuan tersebut di atas dalam pespektif hukum. Sekaligus mendorong penegakan hukum dan kode etik terhadap malapraktik profesi hukum.

Paradoks advokat

Advokat atau pengacara diberi status oleh undang-undang sebagai penegak hukum, sama dan sederajat dengan polisi, jaksa dan hakim. Pasal 5 ayat (1) UU No. 18/2003 tentang Advokat menyatakan, advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Sejalan dengan itu, putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No.014/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), wadah tunggal advokat Indonesia, merupakan organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara.

Persoalan praktisnya adalah, penegak hukum seperti apa? Karena di satu sisi advokat berstatus penegak hukum. Namun, pada sisi lain, advokat tidak punya kewenangan memaksa selayaknya penegak hukum, seperti polisi dan jaksa, yang bisa menangkap, menahan, menggeledah dan seterusnya. Karena itu, status penegak hukum yang disandang advokat mau tak mau hanya bisa dimaknai sesuai fungsinya sebagai kuasa hukum atau penasehat hukum klien dalam kerangka sistem negara hukum.

Berbeda halnya dengan advokat. Jaksa punya kewenangan merampas kemerdekaan orang, juga sekaligus dilindungi undang-undang dalam melaksanakan tugasnya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sebelum memeriksa jaksa Poltak Manulang, Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka Kurnia, dan Ika Safitri, kepolisian harus mendapat izin Jaksa Agung terlebih dahulu. Hal ini didasarkan pada Pasal 8 ayat (5) UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan.

Sedangkan advokat bisa langsung ditangkap dan ditahan kapan pun tanpa harus izin Ketua Peradi. Pasal 16 UU Advokat hanya memberi hak imunitas profesi dalam sidang pengadilan (!). Setidaknya demikian tafsir jaksa, polisi dan hakim dalam kasus advokat Manatap Ambarita tahun 2008 yang lalu di PN Padang.

Dikatakan menurut tafsir polisi dan jaksa karena Pasal 16 UU Advokat tersebut memang multitafsir. Pasal 16 UU Advokat selengkapnya menyatakan, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” Adanya frasa ‘dalam sidang pengadilan’ membuat pasal ini menjadi multitafsir, bila dihubungkan dengan pasal lain dalam UU Advokat.

Malapraktik profesi

Menurut penulis, frasa kunci pasal di atas adalah ‘menjalankan tugas profesi’ dan bukan ‘dalam sidang pengadilan’. Tidak hanya advokat. Siapa pun yang sedang menjalankan tugas profesi dengan itikad baik, apakah jaksa, polisi, hakim, notaris, dokter, wartawan, dan lain-lain, tidak dapat dituntut secara hukum. Terlebih lagi dituntut secara hukum pidana. Bagaimana rasionalnya?

Hal ini ada kaitannya dengan subjek tindak pidana. Secara umum, subjek tindak pidana adalah orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan korporasi (korporatie). Artinya, hanya perbuatan (handeling) orang perseorangan dan korporasi yang dapat dinilai dalam hukum pidana.

Dengan demikian, idiom “setiap orang” atau “barangsiapa” dalam perumusan pasal-pasal pidana, berarti “siapa saja” orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan korporasi (korporatie). Artinya, sasaran dari norma undang-undang (addressaat norm) tentang tindak pidana adalah “perbuatan” (handeling) orang perseorangan dan “perbuatan” (handeling) untuk dan atas nama korporasi. Bukan “perbuatan” (handeling) dalam kapasitas jabatan atau “perbuatan” (handeling) dalam kapasitas profesi.

Jika konteksnya melaksanakan tugas jabatan (misalnya gubernur, bupati dan lain-lain) maka tanggung gugatnya tunduk pada kaidah hukum administrasi negara. Bukan pidana. Karena jabatan tidak bisa dipenjara. Sementara, jika konteksnya menjalankan tugas profesi, maka tanggung gugatnya tunduk pada kaidah kode etik profesi.

Dalam praktik sering terbalik. Menerima suap dibilang bukan korupsi karena tidak merugikan negara. Seperti pembelaan hakim Muhtadi Asnun, yang merasa tidak korupsi karena uang suap digunakan untuk umroh. Di sini, menerima suap (pidana) jelas bukan tugas dari suatu jabatan. Jadi, rumusnya, setiap pelanggaran hukum pasti melanggar kode etik, sebaliknya tidak setiap pelanggaran kode etik berimplikasi hukum

Maka, ada benarnya mana kala Mahkamah Agung belum langsung memberi sanksi kode etik kepada hakim Asnun, melainkan menunggu putusan pidana terhadapnya berkekuatan hukum tetap.

Sampai di sini persoalannya adalah, siapa yang berhak menilai bahwa seseorang harus bertanggung jawab secara hukum atau harus bertanggung jawab secara kode etik? Apakah yang bersangkutan atau polisi atau jaksa? Ini wilayah tafsir. Karena itu, apabila tidak ada nash yang jelas dan tegas dalam undang-undang, pemutus akhirnya harus diserahkan pada hakim di pengadilan.

Dalam kaitan ini, jika hak imunitas profesi dirumuskan dengan jelas dan terang dalam undang-undang, tidak perlu lagi ada wartawan masuk penjara karena tulisannya, advokat dibui karena pilihan trik advokasinya, dokter dipenjarakan karena teknis pilihan tindakan medisnya, dan seterusnya. Jadi, tidak dikit-dikit dibawa ke proses hukum, lantas berkata biar hakim yang memutuskan.

Kebebasan profesi harus dilindungi undang-undang. Pada saat yang sama penegakan hukum dan kode etik juga perlu ditegakan terhadap setiap malapraktik profes hukum. Sebab, kalau tidak, tertib bernegara bisa terganggu. Coba saja kalau polisi mogok bertugas agak seminggu. Bisa-bisa terjadi huru-hara nasional.

Kalau advokat mogok mungkin yang paling hepi adalah oknum polisi dan jaksa yang berparadigma advokat sebagai musuh. Terlihat antara lain bermuka masam saat berurusan dengan advokat atau pura-pura ramah tapi kasak-kusuk di belakang. Bukan begitu sanak?(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres (JPNN), Selasa, 15 Juni 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar