Rabu, 29 Desember 2010

Quo Vadis BPK dan Advokat Jejadian?

Padang Ekspres, 11 Januari 2011

Berdasarkan UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), tugas utama BPK adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lainnya yang mengelola keuangan negara.

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana. Laporan BPK tersebut  dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam praktik, ada penyelundupan hukum yang lazim ketika negara diharuskan melakukan pembayaran yang seolah-olah sah padahal melanggar hukum, akan tetapi tidak terdengar menjadi temuan BPK dan diproses hukum lebih lanjut. Setidaknya kurang terekspos ke publik.

Ambil contoh, keuangan negara atau daerah dikeluarkan untuk membayar jasa hukum nonlitigasi yang diberikan pada oknum dosen atau institusi penegak hukum tertentu yang nyambi sebagai konsultan hukum pemda, komisi negara, DPRD, BUMN/BUMD, seperti melakukan pekerjaan sebagai konsultan hukum tetap dengan bayaran insidental ataupun per bulan atau pertriwulan, membuat rancangan peraturan daerah, menelaah kontrak-kontrak dengan pihak ketiga, memberi advis hukum, dan jasa hukum nonlitigasi lainnya.

Praktik jasa hukum demikian adalah illegal atau melanggar hukum. Sebab, yang berhak memberikan jasa hukum di dalam dan diluar pengadilan hanyalah advokat. Pasal 1 angka 1 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat dengan tegas menyatakan, advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Sedangkan definisi “jasa hukum” disebutkan pada angka 2 pasal yang sama, yakni, jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Jasa hukum seperti tersebut di atas juga tidak berhak diberikan oleh notaris, misalnya. Karena menurut UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, inti kewenangan notaris adalah membuat akta otentik dan perbuatan lain terkait akta otentik tersebut. Dengan demikian, memberi advis hukum atau jasa hukum lain yang biasa dilakukan advokat, yang tidak ada hubungannya dengan pembuatan akta atau perbuatan hukum yang dibenarkan UU Jabatan Notaris dan peraturan pelaksanaannya, lantas menerima honor layaknya advokat adalah terlarang menurut hukum.

Satu-satunya profesi yang absah memberikan jasa hukum keadvokatan demikian hanyalah orang-orang dari profesi advokat. Sampai saat ini penulis tidak menemukan ada dasar hukum berupa undang-undang dan peraturan dibawahnya yang membolehkan orang lain kecuali advokat memberikan jasa hukum dan menerima honorarium seperti dilakukan advokat tersebut. Tidak UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Tidak UU No 16 Tahun 2006 tentang Kejaksaan. Pun tidak UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Seorang dosen hukum, misalnya, walaupun yang bersangkutan bergelar profesor doktor akan tetapi tetap tidak memiliki dasar kewenangan untuk memberikan jasa hukum dan menerima honorarium layaknya advokat. Apalagi jika honor tersebut bersumber dari keuangan negara/daerah, jelas berpotensi memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

Begitupun jaksa tidak berwenang memberikan jasa hukum layaknya advokat dan menerima honorarium. Pasal 30 ayat (2) UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan memang membenarkan jaksa sebagai pengacara negara, terbatas di bidang perdata dan tata usaha negara, yakni dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Atas pelaksanaan dari kuasa khusus ini, tidak diperkenankan jaksa menerima honorarium layaknya advokat. Karena jaksa telah memiliki gaji dan tunjangan resmi menurut peraturan perundang-undangan.

Sayangnya, dalam praktik, jasa hukum yang menjadi tugas pokok dan fungsi advokat di atas acap kali justru dilakukan oleh bukan advokat, seperti disebutkan di atas. Atas jasa hukum mirip advokat tersebut, pemberi jasa menerima semacam honorarium dari keuangan negara atau daerah, BUMN, dan BUMD. Honor demikian sangat potensial sebagai tindak pidana korupsi.

Dari sudut pandang pengelolaan keuangan negara, jasa hukum yang diberikan oleh orang nonadvokat tersebut tidak menjadi masalah. Menjadi masalah mana kala jasa hukum demikian diberi honorarium layaknya advokat, yang sumber dananya berasal dari keuangan negara/daerah dalam APBN/APBD.

Sebenarnya, jika BPK proaktif dan lebih transparan lagi, sangat mudah mencari bukti penyimpangan keuangan negara/daerah, berupa pembayaran kepada advokat jadi-jadian demikian. Hal ini lazim terjadi di Indonesia. Apalagi, biasanya, setiap pengeluaran keuangan negara pasti didukung oleh bukti-bukti pengeluaran. Sehingga aliran dananya sangat mudah dibuktikan.

Selain itu, jika BPK melakukan komunikasi dan kerjasama dengan kalangan aktivis LSM yang biasanya memiliki data tentang, misalnya, siapa saja oknum nonadvokat yang memiliki kontrak atau MoU jasa hukum dengan honorarium dengan pemerintah daerah, komisi-komisi negara, DPR, BUMN/BUMD, maka audit BPK kepada institusi yang diperiksanya akan sangat terbantu.

Menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), sebagai wadah tunggal advokat se-Indonesia, untuk menggencarkan advokasi kepada lembaga-lembaga negara dan masyarakat terkait advokat jadi-jadian tersebut, paling kurang wujud peran serta dalam pemberantasan korupsi dan penyelamatan keuangan negara serta penegakan wibawa profesi.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang.