Senin, 27 September 2010

Markus Kelas Teri

Oleh SUTOMO


Ada satu asas (maxim) dalam dunia makelar kasus (markus). Yakni, bahwa markus kelas teri akan akan memangsa tangkapan yang kecil-kecil. Sebaliknya, markus kelas kakap (big fish) akan memangsa tangkapan kelas kakap juga. Namun, keduanya, semata soal ukuran tangkapan. Sedangkan soal dampak, sama merusaknya.


Kasus markus di Indramayu dimana keluarga Kadana sampai tinggal di kandang kambing karena semua harta ludes terjual akibat diperas oknum aparat, adalah contoh kelakuan markus kelas teri. Dalam kasus ini, korban harus merogoh kocek total Rp14,3 juta dari hasil menjual harta pribadi dan ngutang ke sana kemari untuk kemudian diserahkan kepada oknum polisi, jaksa dan petugas lembaga pemasyarakatan.

Kasus Gayus Tambunan yang menyeret berbagai petinggi di Mabes Polri, Kejaksaan, dan Ditjen Pajak, adalah satu contoh markus kelas kakap. Yang menyikat Rp28 miliar, bahkan disebut-sebut ratusan miliar tersimpan di rekening Gayus di luar negeri.

Bagaimana perlakuan publik terhadap kedua jenis markus ini? Ada kecenderungan sekarang perhatian publik dan petinggi di negeri ini hanya tersedot pada markus kelas kakap seperti Gayus Cs. Lihatlah, melalui pemberitaan media massa, perhatian publik sungguh luar biasa dan berlangsung lama.

Berbeda dengan kasus-kasus markus kelas teri dengan korban buruh tani seperti Kadana. Pemberitaan dan perhatian publik tidak begitu gencar dan biasanya tidak akan berlangsung lama. Lalu, hilang begitu saja dari orbit pemberitaan. Mungkin karena kurang sensasional.

Sekalipun dampak kelakuan markus kelas teri dan kelas kakap itu sama saja merusaknya, akan tetapi penzaliman luar biasa justru lebih berat dialami oleh para korban markus kelas teri, yaitu mayoritas rakyat Indonesia dengan ekonomi menengah ke bawah dan rata-rata buta hukum namun terpaksa berurusan dengan hukum.

Para markus kelas teri ini bergentayangan di polsek, polres, polresta, kejari, pengadilan negeri, advokat, rumah tahanan negara (Rutan), lembaga pemasyarakatan (LP) di seantero negeri. Jika aparat polisi, pangkatnya tidak tinggi. Biasanya Iptu, Ipda, Briptu, dan Bripda. Dengan jabatan sebagai penyidik atau penyidik pembantu.

Karena di kota-kota kecil dengan perkara yang juga relatif kecil, tangkapan para markus kelas teri ini adalah para pedagang kaki lima, buruh, pegawai kecil, pengangguran, dan sekali-kali pengusaha kecil atau pegawai berjabatan tanggung.

Dari segi bahasa tubuh, gerak-gerik, dan pilihan katanya, para markus kelas teri gampang sekali dikenali. Sekelebatan langsung nampak sangat menyebalkan dan tidak bermutu. Dikit-dikit menggosokan ibu jari dengan jari telunjuk. Atau bercuap-cuap gajinya kecil, tugas berat, dan minim biaya operasional. Lain waktu mengatakan kertas kurang, printer rusak, dan sterusnya. Kesemuanya artinya sama. Minta duit. Main peras jika tidak sukarela diberi.

Ciri khas wajah para markus kelas teri ini, seperti pernah saya tulis di harian ini (Wajah Penegak Hukum, 3/2/2006), juga gampang dikenali. Kusam. Tiada aura di wajahnya. Ini karena otaknya jarang digunakan. Ditambah perasaan bersalah pada keluarga dan berdosa pada Tuhan.

Kesimpulannya sederhana. Para markus kelas teri ini selain sangat menyebalkan para pencari keadilan, dampak perbuatan mereka juga sangat masif dan merusak bangsa ini dan, tentu saja, merusak citra institusi. Karena itu, kita tunggu petinggi penegak hukum di seluruh Indonesia membersihkan para sampah-sampah dunia hukum ini. Lalu perhatikan, masuk ke tong sampah mana mereka.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat di harian SINGGALANG, 12 April 2010.

1 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus