Jumat, 19 November 2010

Mengapa Sebaiknya Negara Federal

Oleh SUTOMO

Dalam konteks pembagian duit, selama ini daerah-daerah propinsi dan kabupaten/kota dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya kebagian sisa-sisa atau remah-remah, berbentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat. Secara umum, kebijakan pengelolaan sumber daya negara yang vital (keuangan, agama, politik luar negeri, pertahanan, sumber daya alam), semuanya nyaris ditentukan seutuhnya oleh Pemerintah Pusat, lebih khusus lagi oleh elit-elit di Jakarta. Gubernur mau keluar negeri saja harus izin elit Pemerintah Pusat yang bernama Presiden.

Atas dasar apa pemusatan demikian, kecuali hanya atas dasar konstitusi UUD 1945 dan perundangan organik sebagai pelaksanaan dari konstitusi itu. Dasar logika akal sehat jelas sulit ketemu.

Pembagian kekayaan alam di daerah-daerah, contohnya. Kekayaan alam itu sudah jelas-jelas berada di daerah, lah, mengapa Pemerintah Pusat yang harus menentukan pembagiannya harus begini harus segitu. Bukankah kekayaan alam merupakan karunia Ilahi yang harusnya dinikmati seutuhnya oleh manusia dan mahluk hidup di daerah dimana kekayaan alam itu berada? Mengapa kekayaan alam di pedalaman Papua dibagi-bagi oleh Pemerintah Pusat, dan mengapa dinikmati oleh para elit di Jakarta dan NAD, misalnya.

Pola pembagian kekayaan alam demikian bertemu dengan pola ekonomi pasar. Sehingga kekayaan alam di Papua, yang menikmatinya justru lebih banyak elit di Jakarta dan orang-orang di Amerika Serikat. Sebaliknya, lihatlah, apa yang dinikmati oleh orang asli Papua?

Logika akal sehat mana yang bisa membenarkan kekayaan alam Papua disedot habis dari perut bumi lalu dibawah ke luar negeri. Sedangkan orang-orang asli Papua nyaris hanya jadi penonton, gigit jari, sebagai orang miskin dan bodoh.

Hal yang sama terjadi di Mentawai. Atas logika akal sehat mana yang bisa membenarkan hutan-hutan rimba Kepulauan Mentawai dibabat habis, dibawah keluar Mentawai, rakyat dan Pemerintah Mentawai nyaris tidak kebagian kecuali hanya sisa-sisa dan remah-remah, dan meninggalkan bentangan tanah dengan hutannya yang tandas. Rimba tropis Mentawai nyaris habis. Apa yang didapat orang Mentawai? Kemajuan apa yang diperoleh Mentawai hingga hari ini dari perolehan kekayaan rimbanya?

Dengan pola NKRI, daerah-daerah hanya pasrah menerima keadaan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Tidak lebih hanya berharap belas kasih Pemerintah Pusat. Kekuasaan sisa (residu) diterima oleh daerah. Kekuasaan inti atas segala sumber daya vital tetap di tangan Pemerintah Pusat. Lihatlah lelaku elit daerah, yang sibuk pelesir ke Jakarta untuk lobi-lobi, siapa tahu dapat peruntungan berupa dana dari Pemerintah Pusat. Kasihan sekali.

Lagian, “Pemerintah Pusat” itu mahluk apaan sih sehingga bisa begitu berkuasanya? Ahai, tak lebih hanya segelintir elit di daerah Jakarta Raya, yang luasnya hanya seperti titik merah (the little red dot) dibandingkan luasnya Nusantara.

Disentralisasi dalam kerangka otonomi daerah tidak lebih hanya politik pemersatu yang semu. Diyakini tidak dilandasi basis alami kehendak rakyat daerah. Otonomi daerah ditentukan seutuhnya oleh elit-elit di Jakarta. Elit-elit inilah yang menentukan regulasi otonomi daerah. Memang, sebagian elit ini berasal dari daerah, tapi sekema kerja lelaku dari para elit ini sudah dikoridor oleh konstitusi UUD 1945 yang bersifat sentralistik.

Mungkin perlu penelitian yang mendalam hubungan antara penghisapan sumber daya alam dengan bentuk negara. Tapi dugaan sementara ada korelasi yang kuat antara bentuk negara dan sistem pemerintahan dengan cepatnya laju penghisapan sumber daya alam di daerah-daerah.

Harap diingat, daerah-daerah yang tradisional selalu memiliki kearifan lokal untuk melestarikan alam. Pemusatan kekuasaan dan pola ekonomi pasar yang kapitalistik saja, yang diduga kuat mempercepat laju penghisapan sumber daya alam di daerah-daerah, yang kemudian dibawa pergi untuk kesejahteraan orang-orang pusat dan orang-orang asing yang enak-enakan di luar negeri sana.

Siapapun presidennya, seprogresif apapun ia, sebaik apapun ia, setaat hukum apapun ia, laju penghisapan kekayaan alam di daerah-daerah dan ketimpangan pembagiannya yang sangat tidak adil, akan terus berlangsung. Karena pola kerja eksekutif dan legislatif telah terkoridor oleh konstitusi UUD 1945 yang sentralistik. Presiden tidak bisa apa-apa kecuali melaksanakan konstitusi sentralistik itu, yang diseting bahwa sisa-sisa kekuasaan untuk daerah-daerah.

Kata kuncinya adalah, bangsa ini sebaiknya membuka kembali wacana negara federal dengan mengamandemen atau bahkan merubah sama sekali konstitusi. Percikan wacana beberapa tokoh bangsa terdahulu dan masa kini, dari Bung Hatta dan Bung Natsir sampai HM Amien Rais, tidak salah jika dihidupkan kembali.

Tentu saja, masih sangat banyak pakar hukum tata negara yang berpandangan bahwa bentuk negara, yang antara lain tersurat dalam Pembukaan UUD 1945, tidak bisa diubah. Ini jelas pandangan yang tidak berlandas pada logika akal sehat.

Bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak bisa diubah atau jika merubahnya sama dengan membubarkan negara, tidak lebih adalah dogma. Tidak ada yang tidak bisa diubah di dunia ini, termasuk konstitusi. Tarohlah negara bubar, 'kan bisa dirumuskan kembali bentuknya.  Ahai!

Pandangan “negara bubar” tersebut tidak lebih hanyalah relevan dalam konteks rumusan tertulis, itupun hanya sesaat jika bentuk negara segera diubah dan segera dirumuskan dalam konstitusi-tertulis yang baru. Sedangkan realitas negara, negara dalam kenyataan, sesungguhnya tidaklah otomatis bubar; tidak otomatis unsur-unsur pembentuk negara dalam kenyataan seperti wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat dan pengakuan dunia internasional, otomatis bubar/dicabut pula. Tidak sesimpel itu.

Okelah jika bicara fakta. Bukankah adalah fakta bahwa Nusantara dahulunya tidak bersatu dalam bentuk negara kesatuan seperti saat ini. Melainkan terpisah-pisah: Andalas, Malaka, Tanah Jawa, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Tidak ada ikatan kesatuan. Lah, mengapa hal yang sama tidak dipertahankan saja, dalam bentuk negara federal? Lebih alami dan berbasis historis, bukan?[]

[] Penulis, Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang. Artikel ini telah dimuat di hari Padang Ekspres, Senin, 22 Nopember 2010.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar