Senin, 27 September 2010

Menghapus Remisi Koruptor

Oleh SUTOMO

Pemberian remisi (pengurangan masa pidana) bisa saja dihapuskan. Syaratnya, tujuan pemidanaan dan konsep pemasyarakatan diubah dulu, dari pembinaan diubah menjadi balas dendam. Dalam konsep terakhir ini, tidak boleh ada remisi sekalipun terpidana berkelakuan baik selama dipenjara. Mungkinkah?

 

Sampai hari ini, pemasyarakatan bagi terpidana di Indonesia masih menggunakan konsep pembinaan. Dalam konsep ini, terpidana dibina supaya berubah menjadi lebih baik sebelum dibebaskan dan kembali ke tengah masyarakat. Karenanya, siapa pun terpidana yang telah menjalani masa pidana tertentu serta berhasil dibina sehingga berkelakuan baik, otomatis mendapat hadiah remisi.

Maka, setiap momen hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, para narapidana bersuka cita. Pada ultah Kemerdekaan RI ke-65 yang lalu, misalnya, beberapa terpidana kasus korupsi mendapat berkah, sebut saja besan SBY Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjudin. Keempatnya adalah mantan Diputi Gubernur Bank Indonesia. Aulia Pohan bahkan bisa langsung bebas bersyarat karena yang bersangkutan sudah menjalani dua pertiga dari masa pidananya.

Praktek remisi demikian telah berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya. Akan tetapi, tahun ini, tiba-tiba menuai pro dan kontra, terutama dikalangan aktivis dan KPK.

Diluar dugaan KPK ikut bersuara. Mengapa dikatakan diluar dugaan adalah karena KPK harusnya tidak dalam posisi menafsirkan peraturan perundang-undangan, melainkan melaksanakannya. Tak kurang Wakil Ketua KPK M Jasin mengecam pemberian remisi dan grasi kepada terpidana kasus korupsi.

Namun pemerintah tidak ada pilihan lain. Hal ini karena kata kunci dari remisi adalah hak, yaitu hak terpidana yang telah memenuhi syarat. Jika hak ini tidak diberikan, pemerintah dianggap telah merampas hak orang lain, dan ini bisa digugat dengan dasar perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheids daad), vide Pasal 1365 KUH Perdata.

Sebaliknya, dari sudut pandang negara, hak negara untuk menghukum terdakwa otomatis berakhir ketika terdakwa divonis hakim dan eksekusi telah dijalankan. Saat terpidana telah dieksekusi, telah dimaksukkan ke penjara, giliran hak terpidana muncul, dan kebalikannya merupakan kewajiban negara untuk memberikan hak itu.

Pasal 14 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa remisi merupakan hak terpidana. Yang teknis pengaturannya ditentukan lebih lanjut oleh PP No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Sesuai aturan di atas, terpidana berhak mendapatkan remisi jika telah memenuhi syarat (i) berkelakuan baik selama menjalani pidana dan (ii) telah menjalani minimal 6 (enam) bulan penjara (kejahatan biasa) atau 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana (kejahatan korupsi, teroris, pembalakan liar dan narkotika). Hanya dua jenis pidana yang tidak mungkin diberikan remisi, yakni penjara seumur hidup dan hukuman mati.

Dalam kaitan ini, andai kata hukum menggunakan asumsi atau prasangka buruk bahwa kelakuan baik terpidana hanyalah sandiwara belaka, maka tidak akan pernah ada remisi. Sama halnya, andai kata konsep pemidanaan kita adalah balas dendam, juga tidak akan pernah ada remisi.

Napi yang berkelakuan baik, taat aturan, rajin sholat, mengaji, ramah, rajin bekerja, menempah diri lahir batin jangan harap dapat pengurangan hukuman. Begitu pun sebaliknya, napi yang berkelakuan buruk, tidak taat aturan, suka berkelahi sesama napi, jual narkoba jalan terus, pemalas, tidak rajin bekerja, apalagi beribadah pun jangan harap dapat remisi. Keduanya sama saja. Tak ada bedanya. Karena pemidanaan adalah balas dendam.

Untunglah, sistem hukum pidana dan pemasyarakatan kita sejak dulu kala telah menetapkan bahwa tujuan penghukuman dan pemasyarakatan adalah pembinaan. Bukan balas dendam. Penghukuman dengan tujuan balas dendam tinggal sejarah tempo dulu, peninggalan abad kegelapan, jaman jahiliah.(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Tulisan ini telah dimuat Harian Singgalang (hal. 1), Selasa, 24 Agustus 2010.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar