Dengan kejadian serupa itu jangan heran jika pemberantasan
korupsi baru sebatas menghukum orang. Tapi gagal memulihkan kerugian keuangan
negara.
Pemaksaan eksekusi pada objek yang tak jelas dan tertentu
mengakibatkan terpidana merasa dihukum dua kali. Manakala hartanya yang bukan
berasal dari tindak pidana korupsi dicoba diutak-atik jaksa eksekutor. Tindakan
eksekutor mana, jika tetap dipaksakan, tak pelak berpotensi sebagai perbuatan
melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige
overheids daad), vide Pasal 1365 KUH Perdata. Terpidana dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan dengan dasar hukum Pasal 1365 KUH Perdata tersebut.
Kegagalan eksekusi tersebut bisa ditelusuri penyebabnya
secara berangkai dari mulai penyidikan sampai penuntutan. Biasa ditemui dalam surat dakwaan hanya
disebutkan cara-cara bagaimana suatu tindak pidana korupsi dilakukan, namun
tidak menguraikan “perolehan” harta dari hasil korupsi. Persisnya, tidak ada
uraian bagaimana cara harta yang diduga hasil korupsi tersebut diperoleh berikut
rincian perhitungannya sesuai audit. Sedangkan jelas-jelas dakwaan mencantumkan
Pasal 18 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU No 31 Tahun 1999.
Jadilah kasus korupsi pepesan kosong. Aparatnya berkeringat
tapi tak menghasilkan apa-apa, ibarat orang jalan di tempat. Pasalnya, setiap
kasus yang ditangani ada biaya untuk mengusutnya. Untuk kasus korupsi, biaya yang
dikeluarkan negara bisa puluhan juta rupiah. Namun, pada garis finis, alih-alih
biaya itu kembali, yang terjadi malah tekor.
Sebagaimana diketahui, unsur “memperoleh” tersebut haruslah dibuktikan
berapa persisnya harta hasil korupsi yang diperoleh terdakwa. Untuk itu, harus
dihitung harta terdakwa sebelum
tindak pidana korupsi dilakukan, dan berapa harta terdakwa sesudah korupsi dilakukan, sehingga didapatkan hasil penambahan
kekayaan terdakwa yang diperoleh dari hasil korupsi.
Keseriusan pengembalian kerugian keuangan negara harusnya juga
tergambar mana kala semua penyertaan (deelneming)
vide Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yakni semua pihak yang terlibat menerima atau
memperoleh harta dari hasil korupsi, semuanya diusut dan didakwa ke pengadilan.
Jika pihak yang terlibat tidak didakwa semua, maka sudah
dapat dipastikan kerugian keuangan negara tidak akan bisa diselamatkan secara
utuh. Sebab, proses pengembalian kerugian keuangan negara yang tidak mau
sukarela adalah dengan eksekusi, lah, bagaimana mau mengeksekusi jika yang
bersangkutan tidak dijadikan tersangka dan terdakwa di pengadilan. Hal krusial
begini yang acap kali tak disadari sehingga “tebang pilih” dalam kasus korupsi
dianggap ringan dan biasa saja.
Mengingat, jika konteks korupsi adalah perbuatan melawan
hukum (Pasal 2) dan penyalahgunaan wewenang (Pasal 3), maka orientasi penegakan
hukum haruslah pengembalian kerugian keuangan negara. Tak ada artinya
pengusutan korupsi jika kerugian keuangan negara tidak berhasil diselamatkan.
Walaupun “kerugian keuangan negara atau perekonomian negara”
sebagai unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tersebut tidak bersifat
wajib yang ditandai kata “dapat” dalam redaksional pasal bersangkutan, namun
menurut Nur Basuki Minarno (2008), kerugian keuangan negara tersebut haruslah
ada baru terdapat relevansi korupsinya.
Parameter kerugian keuangan negara tersebut berdasarkan
Pasal 1 angka 22 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo. Pasal 35
ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, haruslah “nyata dan
pasti”. Kerugian keuangan negara yang baru “akan” atau “belum” terjadi (potential loss), tidak tergolong
kerugian keuangan negara.
Supaya kerugian keuangan negara itu jelas legalitas “nyata
dan pasti”-nya harus ada audit. Audit untuk kepentingan proses hukum projustitia harusnya dilakukan lembaga
independen, yang tidak memihak, dalam hal ini Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
vide Pasal 10 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 11 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Bukan audit seperti biasa dilakukan Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sesuai permintaan Kejaksaan atau Kepolisian,
karena BPKP berada dalam satu cabang kekuasaan ketatanegaraan yang sama dengan
Kejaksaan dan Kepolisian, yakni sama-sama cabang kekuasaan eksekutif.
Jaksa atau polisi bisa saja menghitung kerugian keuangan
negara akan tapi perhitungan demikian tidak memiliki legalitas mengikat menurut
hukum. Umpama kata penulis bisa saja berpendapat penyakit kanker usus si A
disebabkan kurang makan sayur, tapi pendapat ini tidak mengikat dan memiliki
legalitas seperti dilakukan seorang dokter ahli.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 tanggal 24
Juli 2006 dalam pertimbangan putusan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun
1999 menyebutkan, “Untuk mempertimbangkan
keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis
dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah
dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli
dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.”
Memaksa mendakwakan kerugian keuangan negara yang belum/tidak
nyata dan pasti pada gilirannya akan terbentur saat eksekusi kelak. Sebab,
harta yang dieksekusi haruslah jelas dan tertentu objeknya. Kompleksitas
demikian yang juga acap tak disadari dengan baik dalam penyidikan, penuntutan,
dan pembuktian perkara korupsi di pengadilan. Main terabas saja.
Perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang
tidak berimplikasi merugikan keuangan negara tidaklah tergolong perbuatan
korupsi. Paling banter hanya kesalahan administrasi belaka. Kecuali kesalahan
administrasi berupa pemalsuan, sekalipun tidak merugikan keuangan negara, tetap
dapat didakwa korupsi dengan Pasal 9 UU No 31 Tahun 1999.
Sebaliknya, terdapatnya kerugian keuangan negara, tapi tidak
terpenuhinya unsur melawan hukum (wederrechtelijk)
dan penyalahgunaan kewenangan (detournement
de pouvoir), maka perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana korupsi sesuai
konteks Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999. Seumpama ketekoran (kerugian)
keuangan negara dalam pemberantasan korupsi akibat ganti rugi gagal dieksekusi
oleh jaksa eksekutor.
Berbeda halnya dengan pidana korupsi penyuapan, pemerasan,
gratifikasi (hadiah atau pemberian dalam arti luas), dan bentuk lain korupsi
yang tidak merugikan keuangan negara, maka orientasi pidana badan terhadap
terdakwa mendapatkan relevansinya, selain tentu saja pidana denda.
Perhitungan kerugian keuangan negara dalam pemberantasan
korupsi memang sederhana kedengarannya. Namun sangat kompleks ketika dilaksanakan
dalam praktik. Jadi, jangan “main gas” saja jika kerugian keuangan negara tidak
nyata dan tidak pasti alias hanya pendapat subjektif penyidik. Karena, nanti, kalaupun
menang di pengadilan pasti kebentur waktu eksekusi.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar