Jumat, 14 Oktober 2011

"Insiden" Makan Siang Djufri-Jaksa


Saat membuka Facebook Kamis (13/10) siang, penulis terkejut melihat foto makan siang jaksa dan Djufri, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat dan terdakwa sekaligus tahanan dalam kasus korupsi pengadaan tanah pembangunan kantor DPRD Kota Bukittinggi dan pool kendaraan Subdinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bukittinggi tahun 2007, terpampang di dinding Facebook milik rekan Roni Saputra, Koordinator Divisi Pembaruan Hukum dan Peradilan LBH Padang.

Banyak yang menduga peristiwa ini akan menjadi berita besar. Benar saja. Media massa khususnya yang terbit di Padang menjadikan peristiwa makan siang ini sebagai berita utama pada keesokan hari, Jum’at (14/10). Media nasional pun menyorotnya, seperti Kompas.

Sebagaimana diberitakan, Djufri kepergok wartawan tengah makan siang bersama Jaksa Penuntut Umum (JPU) Zulkifli dan Kasi Penuntutan Kejati Sumbar, Idial, di rumah makan Lamun Ombak (LO), Pasar Usang, Batanganai, Kabupaten Padang Pariaman, 30 kilo meter dari Lembaga Pemasyarakatan Muaro Kota Padang tempat di mana seharusnya Djufri ditahan, pada hari Kamis (13/10).

Idial membela diri bahwa acara makan siang itu sudah izin pengadilan. Pengadilan telah mengeluarkan penetapan bagi Djufri berobat ke RS Siti Rahma di Jalan By Pass Kota Padang. Namun karena jadwal berobat pukul 15.00 Wib, maka siang sebelum jadwal itu tiba, Djufri mengaja JPU Zulkifli dan Kasi Penuntutan Kejati Sumbar untuk makan siang. Jauhnya tempat makan siang ini diduga kuat untuk menghindari sorotan publik. Karena ruma makan yang sama (LO) ada Kota Padang, bahkan tak sampai 500 meter dari PN Padang, tempat Djufri biasa disidangkan, tepatnya di Jalan Khatib Sulaiman Padang.

Nah, dari kronologis peristiwa di atas pertanyaannya adalah, apakah pantas acara makan siang tersebut dari sudut pandang hukum dan etika profesi seorang jaksa?

Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No. 16 Tahun 2006 tentang Kejaksaan, melaksanakan penetapan hakim merupakan tugas dan wewenang seorang jaksa dibidang pidana. Sampai di sini tidak ada masalah.

Sedangkan berdasarkan Doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa, seorang jaksa dituntut kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri pribadi dan keluarga, maupun kepada sesama manusia (Satya); kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang maha Esa, keluarga, dan sesama manusia (Adhi); dan bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penetrapan tugas dan kewenangannya (Wicaksana).

Dari sudut pandang etika, apakah bijaksana seorang jaksa yang tugasnya menuntut seorang terdakwa tapi bercengkrama akrab, makan bersama, tertawa-tawa, pergi jauh ke luar kota untuk makan siang sementara terdakwa adalah seorang tahanan dan penetapan yang diberikan hakim adalah untuk berobat di rumah sakit atau bukan untuk melalang buana ke luar kota?!

Percengkramaan jaksa dan terdakwa sampai jauh ke luar kota dan di tempat tertutup pula, tepatnya di ruang VIP RM LO, perginya dengan mobil pribadi plat hitam, tanpa pengawalan polisi pula…sudah barang tentu menimbulkan dugaan macam-macam dari publik. “Yang paling mencurigakan adalah kenapa mereka harus makan di ruangan tertutup, dan jauh dari Kota Padang. Dua jaksa ini harus diperiksa,” ujar Roni Saputra (Padang Ekspres, 14/10).

Posisi terdakwa (Djufri) dan Jaksa (Zulkifli dan Idial) bertolak belakang. Berlawanan. Terdakwa adalah pihak yang didakwa. Dan jaksa adalah pihak yang menuntut terdakwa. Terdakwa adalah lawan jaksa, sebaliknya jaksa adalah lawan bagi terdakwa. Jadi agak susah dicerna logika akal sehat orang yang bermusuhan secara hukum tapi berpagut-pagut dengan mesranya. Ada apa ini?

Akar budaya bisa diurut dengan mudah. Inilah cermin budaya guyub orang Indonesia, kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong. Walaupun bermusuhan secara hukum tapi secara pribadi tidak ada permusuhan sama sekali. Ini sikap profesional namanya. Namun permasalahannya berada di jalur alur dan patut, jalur etika.

Penulis sendiri mengenal kedua jaksa itu, Zulkifli dan Idial. Idial adalah senior di Fakultas Hukum Unand, seorang jaksa yang baik dan pintar, beberapa kali pernah bertemu berlawanan di pengadilan, orang yang tenang dan humoris. Karena kepribadiannya ini, penulis tidak berpikir buruk bahwa ada dugaan suap dan sebagainya di balik “insiden” makan siang itu. Akan tetapi publik umum bisa saja mempersepsi sebaliknya.

Karena itu, untuk kebaikan jaksa bersangkutan sendiri dan demi wibawa institusi, ada baiknya peristiwa ini didalami oleh Komisi Kejaksaan jika ada laporan untuk itu, sekaligus diperiksa oleh atasan jaksa tersebut secara hirarkis dan institusional. Bukan semata untuk maksud menghukum, tetapi untuk supaya ada evaluasi untuk perbaikan di masa mendatang. Jika ditemui indikasi pidana maka wajib diberlakukan asas persamaan di depan hukum.(*)

(*) Penulis Praktisi Hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar