Senin, 10 Januari 2011

Jefferson vs Pelanggaran Asas Hukum

Peran hakim cenderung sudah diambil alih oleh pers dan publik dalam banyak kasus, terutama  dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi (tipikor), seperti dialami Jefferson Rumaja, Wali Kota Tomohon sekaligus terdakwa kasus korupsi, yang divonis pers dan publik bahkan sebelum hakim melakukannya.
Suara publik dan pers sangat kencang supaya yang bersangkutan tidak dilantik menjadi wali kota. Alasannya, Jefferson berstatus terdakwa kasus korupsi APBD 2006-2008.
Dalam kasus Jefferson, misalnya, konteksnya bukan hanya bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda berikut perubahaannya yang melarang terdakwa menduduki jabatan wali kota, melainkan lebih tinggi lagi, sesuai asas praduga tak bersalah bahwa Jefferson belum dinyatakan bersalah oleh mekanisme hukum sehingga masih berhak menduduki jabatan wali kota.
Dalam filsafat hukum diajarkan bahwa asas hukum merupakan dasar atau fondasi kebenaran dari suatu norma hukum yang diformulasikan ke dalam pasal dan ayat peraturan perundang-undangan atau hukum positif. Asas lebih tinggi tingkatnya dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Contoh, asas persamaan di depan hukum (equality before the law), asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan sebagainya. Pasal tidak boleh bertentangan dengan asas-asas hukum tersebut. Melawan asas sama dengan melawan hukum alam. Muskil.
Asas hukum sesuai sifat hakikatnya adalah netral, tidak memihak. Ia merupakan kristalisasi bagaimana hukum harusnya berprinsip. 
Memang, dalam praktik penerapan hukum, yang mengikat adalah pasal dan ayat suatu peraturan perundang-undangan. Asas tidak mengikat secara langsung, boleh dipedomani dan boleh juga tidak. Akan tetapi, karena asas merupakan pondasi suatu kebenaran, maka asas mau tak mau harus berlaku  dengan sendirinya terlepas ia ditaati atau tidak.
Jika asas praduga tak bersalah dilanggar, misalnya, maka esensinya sama dengan meruntuhkan hukum secara keseluruhan. Demikianlah bagaimana suatu asas bekerja.
Andai seseorang sudah dianggap bersalah dan tidak berhak lagi menduduki jabatan publik, sudah kehilangan hak keperdataan dan kewargaan, sebelum ada vonis hakim yang menyatakannya bersalah demikian, maka esensinya tidak perlu lagi ada sistem hukum. Tidak perlu ada penyidikan oleh polisi/jaksa, penuntutan oleh jaksa, dan pemeriksaan di pengadilan yang dipimpin oleh hakim. Langsung saja seseorang yang dicurigai korupsi dianggap bersalah dan dijebloskan ke penjara.
Jika demikian halnya, hakikatnya sama dengan negara barbar. Hukum adalah saya. Saya itu bisa berwujud raja, presiden, publik, pers, dan lain-lainnya.
Barang kali kita semua sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama dan harus diberantas. Akan tetapi, pemberantasannya haruslah tetap dalam koridor hukum, berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kebencian. Pemberantasan korupsi karenanya tidak boleh menafikan dan menghilangkan hak keperdataan seseorang yang merupakan hak asasi manusia. Sebab, tersangka/terdakwa kasus tipikor adalah manusia. Bukan binatang.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar